TRIBUNNEWS.COM, PYONGYANG -- Siapa sangka Bengawan Solo karya Gesang telah dinyanyikan di Korea Utara, Sabtu (15/8/2015) lalu. Sekalipun tidak dinyanyikan dalam acara resmi kenegaraan namun nyanyian itu akhirnya memecah kebisuan di tengah perjalanan delegasi dari Panmunjom menuju Pyongyang.
Panmunjom adalah kota perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan yang berjarak 180 kilometer dari Pyongyang. Rombongan PPIK ke negeri Kim Jong Un dalam rangka menghadiri Konferensi Asia Pasifik Reunifikasi Damai Korea dan perayaan ulang tahun ke-70 Hari Pembebasan Korea.
Kisah dinyanyikannya lagu karya maestro keroncong Indonesia, Gesang itu terjadi di bus nomor dua. Bus itu mengangkut romboongan delegasi dari Indonesia, Malaysia, Peru dan Filipina.
Adalah anggota Persahabatan Malaysia-Korea Utara, Cong Ah Kow, yang memancing rombongan di dalam bus bernyanyi. Berbekal harmonika, awalnya ia memainkan lagu-lagu Mandarin.
Meskipun tidak semua delegasi mengetahui lagu yang dimainkan, setidaknya, alunan suara harmonika Cong Ah Kow sedikit banyak menghibur perjalanan delegasi sepanjang 180 kilometer serta harus melintasi 14 terowongan.
Setelah lagu Mandarin, Cong Ah Kow lantas memainkan lagu-lagu Spanyol yang akrab di telinga. Sebut saja Besame Mucho dan La Paloma serta merta disambut antusias oleh Ketua Persahabatan Peru-Korea Utara, Estuardo Martinez Perez. Dengan lantang, ia menyanyikan lirik dua lagu kenangan tersebut.
Hambatan bahasa tidak menjadi masalah dan setiap orang siap bernyanyi lagu yang mereka kenal. Akhirnya riuh rendah serta tepuk tangan menggema di bus nomor dua tatkala setiap lagu selesai dinyanyikan.
Suasana semakin riuh ketika intro lagu Bengawan Solo dimainkan Cong Ah Kow. Bukan hanya delegasi Indonesia saja yang hafal dengan lirik lagu yang populer sejak zaman penjajahan Jepang di Indonesia.
Delegasi dari Malaysia pun ternyata fasih melantunkan setiap lirik lagu yang menggambarkan sungai di Kota Solo. Setelah Bengawan Solo, giliran lagu Caca Marica dan Burung Kakak Tua menggema di dalam bus.
Tepuk tangan dan nyanyian rombongan delegasi membuat Laison Officer (LO), Song Ho Il, tertawa lepas. Sebuah tawa yang jarang terlihat bagi LO asal Korut saat menjalankan tugasnya.
Selain Bengawan Solo, hal cukup menarik lainnya adalah tatkala rombongan delegasi menjadi saksi Pemerintah Pyongyang mengembalikan hitungan jam di Korut seperti sebelum masa pendudukan Jepang.
Ketika itu, pada 1910 hingga 1945, waktu di Korut 30 menit lebih cepat dibandingkan waktu di Tiongkok dan 30 menit lebih lambat dibandingkan waktu di Jepang. Setelah pendudukan Jepang, pembagian waktu di negara itu disamakan dengan Jepang.
Namun setelah 15 Agustus kemarin, semuanya berubah. Perubahan waktu di Korut itu sempat menjadi bahasan hangat saat jamuan kenegaraan yang dihadiri oleh Kim Jong Suk. Ia adalah adik sepupu pendiri Korut, Kim Il Sung dan bisa dikatakan ia adalah nenek dari Pemimpin Korut saat ini, Kim Jong Un.
etika jamuan, delegasi Indonesia duduk di meja nomor tujuh dengan ditemani LO Korut, Rimmu Song. Saya dan Rimmu Song terlibat pembicaraan hangat mengenai perubahan waktu di Korut tersebut.“Jadi, ayam Korea Utara berkokok jam berapa untuk yang pertama kalinya?
Tetap pukul 03.30 atau berganti menjadi pukul 03.00 menyesuaikan dengan waktu perubahan sesuai dengan keputusan pemerintah Pyongyang?” tanya saya kepada Rimmu Song. Pertanyaan sederhana ini agaknya membuat Mr Ri, demikian panggilannya, terkejut.
Diskusi akhirnya berkutat pada masalah pada pukul berapa ayam berkokok untuk kali pertama setiap harinya. Apakah perubahan waktu yang ditetapkan pemerintah Pyongyang itu juga akan berpengaruh pada perubahan waktu berkokoknya ayam? Jika sebelum tanggal 15 Agustus 2015, ayam di Korut berkokok menggunakan waktu Jepang, apakah setelah tanggal itu, ayam Korea Utara masih akan menggunakan waktu Jepang ataukah waktu Korea Utara dalam berkokok?
"Yang jelas begini..” ujar Mr Ri mencoba menjelaskan. “Jika ayam Korea Utara yang tadinya berkokok pukul 03,30 waktu Jepang, setelah tanggal 15 Agustus akan kembali normal pukul 03.00 waktu Korea Utara. Ini dengan pemahaman bahwa ayam secara alamiah memang berkokok untuk pertama kali setiap harinya pukul 03.00, di manapun ia berada,” ujar Mr Ri dengan semangat sembari tersenyum.
Akhirnya… ayam menjadi topik pembicaraan yang bersahabat tanpa peduli apakah menggunakan waktu Korea Utara ataukah waktu Jepang. Namun yang jelas, karena ayam itulah, meja nomor tujuh dipenuhi gelak tawa dan senyuman dari para delegasi yang duduk di situ. (*/gap)