BBC juga mengutip harian Makkah yang bahkan menerbitkan kartun, yang juga disebarkan lewat media sosial. Kartun itu memperlihatkan seorang pria berbaju tradisional dari negara Teluk.
Dia melihat ke sebuah pintu berpagar kawat berduri dan menunjuk pintu lain berbendera Uni Eropa sambil berkata, "Kenapa kamu tak mengizinkan mereka masuk? Dasar orang-orang tidak sopan!?" Kartun ini secara jelas menyindir keras sikap pemerintah negara-negara Teluk.
Namun, benarkah negara-negara Teluk tidak peduli dengan penderitaan tetangganya.
The Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (10/9/2015), melaporkan bahwa sesungguhnya negara-negara itu telah berada di antara para donor terbesar dunia untuk membantu para pengungsi Suriah.
Bantuan-bantuan mereka disalurkan melalui badan-badan PBB dan badan amal swasta.
Dengan GDP tahunan yang jika digabung mencapai sekitar 2 triliun dollar AS untuk populasi kolektif kurang dari 55 juta jiwa, negara-negara itu sangat mampu untuk bermurah hati.
Namun, negara-negara Teluk juga harus mempertahankan keputusan mereka, yaitu tak ada pemukiman kembali buat pengungsi Suriah.
SMH mengutip Amnesty International yang mengatakan bahwa negara-negara Teluk "karena kedekatan geografis, hubungan sejarah dengan Suriah, dan potensi integrasi yang relatif mudah karena punya kesamaan bahasa dan agama, harus melakukan kontribusi yang signifikan terhadap pemukiman kembali para pengungsi Suriah."
Lembaga itu mencatat negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya, seperti Rusia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan, juga menetapkan kebijakan tidak ada opsi pemukiman kembali bagi para pengungsi.
Kuwait sejauh ini merupakan donor paling dermawan dengan memberikan hampir sepertiga dari semua bantuan yang dijanjikan untuk krisis Suriah melalui PBB, atau sebesar 800 juta dollar AS sejak 2012. Sementara UEA telah memberikan 364 juta dollar AS, tulis Jane Kinninmont, peneliti senior di Progam Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House, Selasa (8/9/2015), seperti dikutipSMH.
Masih menurut Kinninmont, jumlah itu memang kecil dibanding bantuan Inggris sebesar 1 miliar dollar AS atau sebanyak 3 miliar dollar, tetapi angka itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan PDB negara bersangkutan.
"Ini bukan isu spesifik tentang permusuhan terhadap pengungsiSuriah: enam monarki Teluk itu tidak pernah menandatangani konvensi internasional tentang hak-hak pengungsi dan orang yang tidak punya kewarganegaraan," tulis Kinninmont.
Kendati demikian, negara-negara Teluk pernah menerima mereka yang melarikan diri dari perang dan penganiayaan. Walaupun mereka tidak pernah disebut sebagai pengungsi, banyak warga Palestina, Lebanon, dan Yaman tinggal di Teluk setelah mengungsi dari konflik di negara mereka sendiri, kata Sultan Sooud al-Qassemi, pengamat Teluk dan Media Labs Director's Fellow di Massachusetts Institute of Technology.
"Ada juga preseden di mana negara-negara Teluk menerima pengungsi," tulisnya di International Business Times. "Seperempat abad lalu, ratusan ribu warga Kuwait diberi perlindungan di Teluk setelah invasi ... Saddam Hussein."