Kalau sepi, kata Goffar, karena tidak banyak orang Indonesia dan Malaysia yang banyak beli.
"Meski banyak orang yang ke sini tapi belinya cuma satu atau dua," cerita Ghoffar sambil terkekeh.
Gaji Rp 24 juta
Berdagang di Queen Victoria Market, menurutnya, juga cukup mahal. Bosnya, seorang warga Australia dari Kamboja keturunan Tionghoa, sudah 4 tahun berjualan di pasar tradisional itu.
Selain membeli lapak yang menurut Ghoffar mencapai ribuan dollar, ada pula biaya sewa lapak yang AU$ 120 per hari, plus gaji pegawai. Pengeluaran sang bos bisa mencapai AU$ 1.500 (Rp 15 juta) per minggu.
Sedangkan pendapatan, rata-rata AU$ 1.500 per hari, namun bila pembeli ramai bisa mencapai AU$1.700-2.000 (Rp 17 juta-Rp 20 juta).
Ghoffar dalam sebulan bekerja selama 20 hari dengan gaji per jam AU$10, sehingga total pendapatan dia bekerja di Queen Victoria Market per bulan adalah AU$2.400 (Rp 24 juta).
"Selain kerja di VicMart, kalau badan nggak capek, juga kerja nge-roll koran. Biasanya seminggu 3 hari, rata-rata kerja sehari 2 jam. Selain nge-roll koran juga kerja di warehouse (gudang). Dari kerjaan itu kalau ditotal semua kurang lebih AU$3.000 (Rp 30 juta)," ungkap Ghoffar.
Gaji Rp 30 juta itu sekilas cukup besar untuk standar Jakarta. Namun, ini di Melbourne, di mana biaya hidupnya lebih tinggi.
Biaya hidup
Ghoffar dan istri harus menanggung biaya 2 anak balita mereka, Einar (4) dan Kiral (2) yang dititipkan di daycare dengan biaya AU$101 (Rp1 juta) per anak per hari.
Namun karena sang istri mendapatkan beasiswa pemerintah Australia, maka setelah 6 bulan bermukim di Melbourne, mendapatkan subsidi child care benefit dan child care rebate sehingga dari yang tadinya harus membayar AU$101 per anak per hari menjadi AU$60 (Rp 600.000).
Belum lagi biaya makan untuk ukuran paling sederhana AU$10 per orang setiap kali makan, dan biaya transportasi AU$7 per orang. Dan uang sewa rumah sebulan AU$1.040 (sekitar Rp10 juta).
Bila ditotal, biaya hidup yang harus dikeluarkan keluarga Ghoffar sekitar AU$4.000-an sebulan (sekitar Rp 40 juta).