TRIBUNNEWS.COM, GENEVA - Kim Jong Nam, kakak tiri pemimpin Korea Utara merasa tak berdaya dan dicekam rasa takut akan keselamatan karena terus dikejar oleh rezim kekuasaan adiknya, Kim Jong Un.
Itu sebabnya, Jong Nam melarikan diri dan memilih tinggal di luar negeri dan berpindah-pindah tempat, dengan terakhir memilih tinggal di Makau.
Hal itu disampaikan oleh sahabat karib Jong Nam, sebagaimana disampaikan dalam wawancara eksklusifnya dengan media Inggris, harian The Guardian.
Dalam wawancara yang dirilis The Guardian pada Selasa (21/2/2017), teman dekat dan orang kepercayaan Jong Nam berbicara tentang kehidupan pria pewaris dinasti Korut itu dan situasi yang menyebabkan pengasingan dan ancaman kematian.
Dalam sejumlah perjalanan ke Geneva, Swiss, selama dua tahun terakhir, terakhir kali dilakukan beberapa bulan lalu, Jong Nam mengunjungi Anthony Sahakian, seorang sahabat masa remajanya di sebuah sekolah internasional ternama di ibu kota Swiss itu.
Selama kunjungan Jong Nam, seorang mantan teman kelasnya bertemu hampir setiap hari hanya untuk sekadar menyeruput tea, mengisap cerutu dan jalan-jalan.
Bagi Sahakian, Jong Nam dikenal sebagai Lee.
Jong Nam hidup dengan pandangan bahwa adik tirinya, Jon Un, mungkin melihatnya sebagai ancaman bagi pemerintahan otokratiknya yang dipangku setelah ayah mereka, Kim Jong Il, meninggal pada tahun 2011.
“Sesungguhnya kami mendiskusikan rezim (Jong Un), saudara tirinya itu, tentang apa yang sedang terjadi di sana. Satu hal yang bisa saya pastikan, ia tidak tertarik pada kekuasaan,” kata Sahakian, pria berusia 44 tahun itu.
“Ia ingin keluar. Ia tidak pernah memiliki ambisi sedikit pun untuk berkuasa di negerinya. Ia tidak menerima atau menghargai apa yang terjadi di sana. Ia menjauhi diri dari rezim tersebut,” katanya.
Para pejabat Malaysia mengatakan, mereka telah menangkap dua perempuan, yang diyakini telah ditugasi agen mata-mata Korut untuk membunuh Jong Nam dengan menyemprotinya dengan bahan beracun pada Senin (13/2/2017) lalu di Kuala Lumpur.
Saat itu, Jong Nam sedang berada di Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) 2 dan sedang besiap-siap untuk menuju pesawat yang akan membawanya kembali ke Makau.
Jong Nam pun tewas dalam perjalanan ke rumah sakit di Kua Lumpur. Sebelum ajalnya, ia sempat bercerita bahwa ada orang yang menyemprot wajahnya dengan sesuatu, yang membuatnya pusing dan sakit.
Hasil otopsi kemudian menunjukkan tidak ada bukti bahwa Jong Nam terkena serangan jantung atau tanda luka tusukan pada jenazahnya.
Polisi Malaysia, ketika ditanya apakah ada indikasi bahwa Jong Un telah diracuni, menjawab bahwa spesimen medis telah diteruskan ke ahli yang bisa menentukan penyebab kematian.
"Kami harus mengkonfirmasi dengan laporan laboratorium sebelum kami dapat memberikan komentar yang meyakinkan," kata petugas tersebut.
Cerita singkat Jong Nam kepada Sahakian jelas telah memberikan perspektif yang lain tentang posisi politiknya selama kekuasaan rezim adik tirinya, Jong Un.
Ketakutan akan kehilangan nyawa sebenarnya telah membuat hidupnya sangat terganggu.
“Dia takut. Hal itu bukan ketakutan biasa tapi dia paranoid. Secara politik dia adalah sosok yang penting. Dia khawatir. Tentu dia khawatir," kata Sahakian.
Jong Nam menyebut negaranya dipimpin oleh sekelompok jenderal tua yang lahir di bawah pengaruh Stalin dan menenggelamkan Korut dalam aturan terkekang dan represif.
KOMPAS.com/Pascal S Bin Saju