TRIBUNNEWS.COM, MYANMAR - Pengungsi muslim Rohingya, Ibrahim hanya bisa mengenang saat dulu bersama saudaranya mengisi waktu-waktu bulan Ramadan.
Seperti kebanyakan umat islam lain, buka puasa di masjid, lanjut salat isya, tarawih dan keesokan harinya sahur bersama keluarga.
Anak-anak, orangtua dan perempuan di waktu Ramadan ramai mengisi masjid-masjid di kota Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar.
Memakai gamis, memakai kerudung dan atribut lainnya.
Salah satu masjid yang ramai yaitu Bormosjid atau disebut masjid jami’ Sittwe yang menjulang besar di tengah kota.
Masjid tua berusia hampir 400 tahun sumbangan dari kerajaan Islam di India.
Saat hari raya, umat islam Sittwe, yang mayoritas Rohingya, merayakan bersama dengan keluarga, saling berkunjung diantara mereka.
Namun, bagi Ibrahim, itu semua sekarang menjadi cerita masa lalu saat ia menjadi bagian dari pengungsi Rohingya yang harus tinggal di desa relokasi maupun kamp-kamp pengungsian pasca konflik 2012.
Baca: Laporan dari Bangladesh: Bulan puasa, pengungsi Rohingya andalkan bantuan
Ibrahim termasuk beruntung karena masih bisa menyelesaikan studinya di universitas di Sittwe, namun saat ini ia harus membantu banyak saudaranya yang tinggal di kamp pengungsian.
Pasca konflik 2012, bagi muslim Rohingya di Sittwe, tidak ada lagi romantisme ramadhan seperti dulu.
Semua masjid di Sittwe ditutup dan muslim Rohingya dilarang untuk bepergian ke kota, terkungkung dalam pagar-pagar berduri yang mengelilingi tempat pengungsian.
“Sudah 5 tahun berlalu pascakonflik, namun situasi tidak banyak mengalami perubahan," katanya.
Kondisi desa-desa Rohingya yang mengelilingi kamp-kamp pengungsian semakin menurun daya dukungnya, akibat kebijakan pembatasan bergerak, sehingga warga Rohingya sulit mencari pekerjaan, bercocok tanam atau menjual hasil buminya.