TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Layanan pesan Telegram digunakan oleh orang-orang yang berada di belakang aksi pengeboman di stasiun metro Saint Petersburg, Rusia, 3 April 2017 lalu.
"Selama penyelidikan serangan di Saint Petersburg, FSB menerima informasi yang dapat dipercaya tentang penggunaan Telegram."
Demikian pernyataan tertulis Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB), Senin (26/6/2017), seperti dikutip AFP.
FSB menyebut, pelaku pengeboman, kaki tangan, dan dalang yang diduga berada di luar negeri, melakukan komunikasi dengan Telegram untuk menyembunyikan rencana kriminal mereka.
Menurut FSB, kelompok teroris itu menggunakan aplikasi tersebut saat tahap persiapan serangan teroris.
Sebanyak 15 orang tewas dalam serangan yang diklaim dilakukan oleh Batalyon Shamilah Shamil -sebuah kelompok yang diduga memiliki hubungan dengan Al-Qaeda.
Telegram adalah aplikasi gratis buatan Rusia yang memungkinkan orang bertukar pesan, foto, dan video dalam kelompok, hingga 5.000 pengguna.
Aplikasi ini telah menarik sekitar 100 juta pengguna sejak diluncurkan pada tahun 2013.
Namun, layanan tersebut juga telah memicu kemarahan para kritikus yang mengatakan bahwa hal itu dapat membuat penjahat dan terorisberkomunikasi tanpa takut dilacak oleh polisi.
Kekhawatiran ini terutama ditujukan untuk penggunaan dari kelompokteroris.
FSB juga menuduh bahwa anggota organisasi teroris internasional di wilayah Rusia menggunakan Telegram.
Data tersebut akhirnya bisa dikeluarkan setelah pengelola aplikasi ini sudah mendapat peringatan.
Otoritas komunikasi Rusia, Jumat lalu, mengancam akan melarang penggunaan Telegram, jika mereka menolak bekerja sama.
Kepala eksekutif Telegram Pavel Durov, yang sempat menolak tunduk pada peraturan pemerintah karena berdalih akan membahayakan privasi pengguna.