News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Sedih Seorang Perempuan yang Diperkosa di Hari Pernikahannya

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI

TRIBUNNEWS.COM, NAIROBI - Ketika Terry Gobanga tidak muncul dalam acara pernikahannya, tak ada seorang pun yang menduga bahwa ia telah diculik, diperkosa dan ditinggalkan dalam keadaan nyaris meninggal di pinggir jalan.

Ini adalah yang peristiwa pertama dari dua tragedi untuk menimpa sang pendeta muda dari Nairobi itu.

Berikut Terry mengisahkannya kepada BBC.

Hari itu adalah hari pernikahan saya. Saya adalah seorang pendeta, jadi semua jemaat gereja kami datang, begitu pula semua saudara kami. Tunangan saya, Harry, dan saya sangat senang. Kami menikah di Katedral All Saints di Nairobi dan saya sudah menyewa sebuah gaun yang cantik.

Namun pada malam sebelum pernikahan, saya baru menyadari bahwa pakaian Harry, termasuk dasinya tertinggal di rumah saya. Ia tidak bisa menikah tanpa mengenakan dasi. Karena itu, seorang teman yang menginap malam itu menawarkan untuk mengantarkan pakaian ke rumah Harry di pagi hari. Kami bangun pagi-pagi buta dan saya mengantarnya ke stasiun bus.

Harry Olwande dan Terry di hari pernikahannya, July 2005. (TERRY GOBANGA via BBC)

Saat saya kembali ke rumah, saya berjalan melewati seorang pria yang sedang duduk di atas kap mobil. Tiba-tiba ia menarik saya dari belakang dan merebahkan saya di kursi belakang. Ternyata ada dua pria menunggu di dalam mobil, dan mereka langsung mengemudikan mobil. Semuanya terjadi dalam sepersekian detik.

Mulut saya disumpal dengan potongan kain yang saya kenakan. Saya menendang, memukul dan mencoba menjerit. Ketika saya berhasil membuka mulut saya yang dibungkam, saya berteriak: "Ini hari pernikahan saya!" Saat itulah saya mendapat pukulan pertama. Salah seorang pria itu menyuruh saya untuk "bekerja sama atau saya akan mati".

Laki-laki itu bergantian untuk memperkosa saya. Saya yakin saya akan mati, tapi saya masih berjuang agar tetap hidup. Ketika salah seorang pria melepas kain yang menyumpal mulut saya, saya langsung menggigit alat vitalnya. Ia menjerit kesakitan, lalu salah satu dari mereka menusuk perut saya. Kemudian mereka membuka pintu dan menendang saya keluar dari mobil yang tengah melaju.

Saya berada di tempat yang ratusan kilometer jaraknya dari rumah, di luar kota Nairobi. Lebih dari enam jam berlalu sudah sejak saya diculik.

Seorang anak melihat saya dibuang di jalanan dan memanggil neneknya. Orang-orang datang berlarian. Ketika polisi datang, mereka mencoba memeriksa nadi saya, namun tak ada seorang pun yang bisa mendengar detak jantung saya. Mereka pikir saya sudah mati, lalu membungkus badan saya dengan selimut dan mulai membawa saya ke kamar mayat.

Tapi dalam perjalanan ke sana, saya tersedak dalam selimut dan terbatuk. Polisi itu berkata, "Ia masih hidup?" Dia kemudian memutar balik kendaraannya dan mengantar saya ke rumah sakit pemerintah terbesar di Kenya.

Saya tiba di rumah sakit dalam keadaan terguncang, bergumam tak jelas. Saya setengah telanjang dan berlumuran darah, dan wajah saya bengkak karena ditinju. Tapi ada sesuatu yang mengingatkan seorang kepala perawat, karena dia menduga saya adalah seorang pengantin perempuan.

"Mari kita tanya ke gereja-gereja untuk mencari tahu apakah mereka kehilangan pengantin perempuan," katanya pada para perawat.

Secara kebetulan, gereja pertama yang mereka hubungi adalah All Saints Cathedral. "Apakah Anda kehilangan seorang pengantin perempuan?" tanya perawat itu.

Lalu pengurus gereja mengatakan: "Ya, ada pernikahan jam 10 dan pengantin perempuan tidak datang."

Ketika saya tidak datang ke gereja, orang tua saya panik. Orang-orang pun disebar untuk mencari saya. Desas-desus beredar. Beberapa orang bertanya-tanya: "Apakah ia berubah pikiran?" Sementara yang lainnya mengatakan: "Tidak, ini bukan sifat dia, apa yang terjadi?"

Setelah beberapa jam, mereka akhirnya harus membongkar dekorasi karena ada upacara lain yang akan dilangsungkan. Harry, sang pengantin laki-laki menunggu di ruang lain di dalam gereja.

Ketika mereka mendengar tentang keberadaan saya, orang tua saya datang ke rumah sakit bersama seluruh rombongan. Harry membawa gaun pengantin saya. Namun peristiwa ini sudah didengar media, jadi ada banyak wartawan di sana.

Saya dipindahkan ke rumah sakit lain sehingga saya memiliki lebih banyak privasi. Di sanalah para dokter menjahit luka-luka yang saya serita dan memberitahu saya kabar buruk: "Luka tusukan menembus jauh ke dalam rahim Anda, jadi Anda tidak bisa punya anak."

Saya diberi obat kontrasepsi, juga obat antiretroviral untuk melindungi saya dari HIV dan AIDS. Pikiran saya tertutup, menolak menerima apa yang telah terjadi.

Harry terus mengatakan bahwa ia masih ingin menikah dengan saya. "Saya ingin menjaganya dan memastikan ia kembali sehat dalam pelukan saya, di rumah kami," katanya. Sejujurnya, saya tidak berada dalam posisi untuk mengatakan 'Ya' atau 'Tidak', karena pikiran saya dijejali dengan wajah ketiga pria itu, dan dengan segala sesuatu yang telah terjadi.

Beberapa hari kemudian, saat obat penenang mulai berkurang, saya bisa menatap matanya. Saya terus meminta maaf. Saya merasa telah mengecewakannya. Beberapa orang mengatakan itu merupakan kesalahan saya sendiri yang telah meninggalkan rumah di pagi hari. Sungguh menyakitkan, tapi keluarga saya dan Harry mendukung saya.

Polisi tidak pernah menangkap para pemerkosa itu. Saya menanti dan menanti, tapi saya tidak mengenali satu pun dari para pemerkosa itu, dan itu menyakitkan bagi saya. Saya memulihkan kondisi saya - 10 langkah maju, 20 mundur. Pada akhirnya saya kembali ke kantor polisi dan berkata: "Saya sudah selesai, saya hanya ingin menyelesaikannya."

Tiga bulan setelah serangan itu terjadi, saya diberitahu bahwa saya negatif terkena HIV dan saya sangat bersemangat, tapi mereka mengatakan bahwa saya masih harus menunggu tiga bulan lagi untuk memastikannya. Meski begitu, Harry dan saya mulai merencanakan pernikahan kedua kami.

Meski saya sangat marah dengan gangguan pers, seseorang membaca kisah saya dan meminta untuk menemui saya. Namanya Vip Ogolla, dan ia juga seorang korban perkosaan. Kami berbicara, dan ia mengatakan kepada saya bahwa dirinya serta dan teman-temannya ingin menggelar pernikahan saya, tapi saya tidak perlu keluar uang sepeser pun. "Lakukan apa saja, apapun yang kamu mau," katanya.

Saya sangat gembira. Saya bisa memilih berbagai kue pesta, yang lebih mahal. Selain bisa menyewa gaun, saya pun bisa memiliki baju pengantin lainnya.

Pada Juli 2005, tujuh bulan setelah pernikahan kami yang pertama direncanakan, Harry dan saya menikah dan pergi berbulan madu.

Selang 29 hari kemudian, di suatu malam yang dingin, kami berada dalam rumah. Harry menyalakan kompor arang dan membawanya ke kamar tidur. Setelah makan malam, ia memindahkannya karena ruangan itu benar-benar hangat. Saya berada di bawah selimut saat ia mengunci rumah. Saat di tempat tidur ia mengatakan merasa pusing, tapi kami tidak pikir tidak ada apa-apa.

Malam itu begitu dingin, sehingga kami tidak bisa tidur, jadi saya menyarankan untuk membawa selimut lagi. Tapi Harry mengatakan ia tidak bisa membawanya karena tidak kuat. Anehnya, saya juga tidak bisa beranjak. Kami menyadari ada yang tidak beres. Ia pingsan. Saya pingsan. Saya ingat saya memanggilnya. Saat itu ia merespons saya, namun kemudian ia tidak merespon lagi.

Saya memaksa diri saya untuk beranjak dari tempat tidur dan muntah, yang memberi saya kekuatan. Saya mulai merangkak ke arah telepon. Saya menelepon tetangga saya dan berkata: "Ada yang tidak beres, Harry tak sadarkan diri."

Tetangga saya langsung datang, tapi butuh waktu lama untuk saya merangkak ke pintu depan agar ia bisa masuk saat aku pingsan. Saya melihat sekelompok orang datang, menjerit. Dan saya ambruk tak sadarkan diri lagi.

Saya terbangun di rumah sakit dan bertanya dimana suami saya berada. Mereka bilang mereka sedang merawatnya di kamar sebelah. Saya berkata: "Saya adalah seorang pendeta, saya telah melihat cukup banyak dalam hidup saya, saya ingin Anda terus terang kepada saya." Dokter menatap saya dan berkata, "Maaf, suamimu tidak tertolong."

Saya tidak bisa mempercayainya.

Kembali ke gereja untuk pemakaman adalah hal yang sangat mengerikan. Baru sebulan yang lalu saya ke sana dengan gaun putih, bersama Harry berdiri di depan dan terlihat tampan dengan jasnya. Kini, saya mengenakan pakaian serba hitam dan melihat suami saya dimasukkan ke dalam peti mati.

Orang-orang mengira saya telah dikutuk dan mereka menjauhkan anak-anaknya dari saya. "Ada pengaruh buruk yang dalam dirinya," kata mereka. Pada satu titik, saya benar-benar mempercayainya.

Sedangkan yang lainnya menuduh saya telah membunuh suami saya. Itu membuat saya sangat sedih karena saya sedang berduka.

Hasil autopsi menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Suami saya meninggal akibat keracunan karena karbonmonoksida yang memenuhi paru-parunya, ia tercekik dan tersedak.

Saya hancur berkeping-keping. Saya merasa dikecewakan oleh Tuhan, saya merasa dikecewakan semua orang. Saya tidak percaya bahwa orang bisa tertawa, pergi keluar dan hanya menjalani hidup. Saya terpuruk.

Suatu hari saya sedang duduk di balkon melihat burung-burung berkicau dan saya berkata: "Tuhan, bagaimana kau bisa merawat burung-burung ini tapi saya tidak?"

Pada saat itu saya ingat ada 24 jam dalam sehari - duduk dalam keadaan depresi dengan gorden tertutup. Tanpa terasa sudah seminggu, sebulan, setahun terbuang sia-sia. Itu adalah kenyataan yang sulit.

Saya mengatakan kepada semua orang bahwa saya tidak akan pernah menikah lagi. Tuhan mengambil suami saya, dan rasa kehilangan itu terlalu banyak. Itu adalah sesuatu yang tidak saya inginkan pada siapa pun. Rasa sakitnya luar biasa.

Tapi ada satu orang - Tonny Gobanga - yang terus berkunjung. Ia mendorong saya untuk berbicara tentang suami saya dan memikirkan masa-masa indah. Suatu saat ia tidak menelepon selama tiga hari dan saya sangat marah. Saat itulah saya tersadar bahwa saya telah jatuh cinta padanya.

Tonny ingin meminang saya, tapi saya menyuruhnya untuk membeli majalah, membaca kisah saya dan memberitahu saya apakah ia masih mencintai saya. Ia kembali dan mengatakan bahwa ia masih ingin menikahi saya.

Tapi saya mengatakan kepadanya: "Dengar, ada hal lain - saya tidak bisa punya anak, jadi saya tidak bisa menikah denganmu."

"Anak-anak adalah anugerah dari Tuhan," katanya. "Jika kita mendapatkannya, Amin. Jika tidak, saya akan punya lebih banyak waktu untuk mencintaimu."

Saya berpikir: "Wow," Jadi saya menerima pinangannya.

Tonny pulang untuk memberi tahu orang tuanya, mereka sangat gembira, sampai mereka mendengar cerita tentang saya. "Kamu tidak bisa menikahinya, ia sudah dikutuk," kata mereka. Ayah mertua saya menolak menghadiri pernikahan, tapi kami tetap melanjutkannya. Ada 800 tamu yang datang ke pernikahan kami, mereka yang datang kebanyakan diliputi rasa penasaran.

Tiga tahun sudah pernikahan pertama saya berlalu dan saya sangat takut. Saat pemberkatan di gereja, saya berpikir: "Saya di sini lagi, Bapa, tolong jangan biarkan ia mati." Saat jemaat berdoa untuk kami, tangis saya pecah.

Setahun setelah kami menikah, saya merasa tidak enak badan dan pergi ke dokter. Yang mengejutkan dokter mengatakan saya hamil.

Seiring berjalannya bulan, saya diberi banyak istirahat, karena bekas luka tusukan di rahim saya. Tapi semua berjalan dengan baik, dan kami memiliki bayi perempuan yang kami namai Tehille. Empat tahun kemudian, kami memiliki seorang bayi perempuan, kami beri nama Towdah.

Kini, saya dan ayah mertua saya menjadi teman baik.

Saya menulis sebuah buku, berjudul Crawling out of Darkness(Merangkak di Kegelapan) yang mengisahkan tentang berbagai cobaan berat yang saya alami, untuk memberi harapan kepada orang-orang untuk bisa bangkit kembali.

Saya juga mulai merintis sebuah organisasi bernama Kara Olmurani. Kami bekerja dengan para penyintas perkosaan, bukan korban perkosaan. Kami menawarkan konseling dan dukungan. Kami ingin membangun sebuah rumah bagi mereka agar mereka bisa datang dan menemukan pijakan sebelum kembali menghadapi dunia.

Saya sudah memaafkan orang-orang yang memperkosa saya. Itu memang tidak mudah tapi saya menyadari tidak bermanfaat marah kepada orang-orang yang mungkin tidak peduli. Agama saya mengajarkan untuk memaafkan dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan tapi dengan kebaikan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini