Abdul Mujeeb Khalwatger adalah jurnalis dan direktur lembaga NAI, yang mendukung media terbuka.
Dia bilang berkembangnya media setelah 2001 ikut meningkatkan jumlah dan kualitas jurnalis profesional. Tapi gelombang tutupnya media yang sedang terjadi telah membalikkan pencapaian itu.
“Jika kita bandingkan media sekarang dengan 30 tahun lalu, profesionalisme media dan kualitas pelaporan meningkat pesat dalam 15 tahun terakhir. Ada jenis program baru, seperti debat dan hiburan. Tapi jika kita bandingkan situasi sekarang dengan empat tahun lalu, standarnya jatuh. Penyebabnya karena kita kehilangan pendanaan. Ini membuat jumlah dan mutu pelaporan media berkurang,” kata Abdul.
Sampai 2001, pemerintah dan Taliban mendominasi media. Setelah 2001, semua suara bisa masuk; perseorangan, kelompok etnis dan agama serta asing.
Diperkirakan hingga dua ribu media baru aktif pada tahun 2010. Tapi pada 2014, lebih dari seratus ribu pasukan koalisi, yang dipimpin Amerika Serikat mundur dari Afghanistan, karena misi mereka sudah selesai.
Ketika mereka pergi, organisasi internasional menutup kantor mereka dan uang yang mengalir ke media Afghanistan pun ikut berhenti.
Arif Noori dulu kepala publikasi Mingguan Qeyaam di provinsi utara Afghanistan. Publikasi ini didanai Asia Foundation dari 2010 hingga 2014, sampai mereka terpaksa tutup karena kekurangan dana.
“Situasi media memburuk pada 2014. Anggaran kami terhenti. Kantor regional Asia Foundation yang mendukung kami tutup karena mereka merasa tidak aman. Tanpa anggaran, kami juga harus menutup kantor,” kata Arif.
Beberapa pemilik media meminta pemerintah untuk mendukung media komersial dan independen, dan menyelamatkan mereka dari keruntuhan. Tapi pemerintah mengatakan tidak bisa melakukan apa-apa.
Saber Mohmand dari Kementerian Informasi dan Kebudayaan Afghanistan. “Media swasta adalah milik swasta, yang dibuka dengan uang dan dukungan swasta. Kami tidak bisa melakukan apa-apa untuk mendukung media swasta,” katanya.
Pakar media percaya situasi saat ini akibat perencanaan yang buruk. Pemerintah memberikan ribuan ijin untuk media dalam waktu yang sangat singkat.
Pemilik media dan penyandang dana internasional juga tidak punya rencana untuk memastikan keberhasilan media dalam jangka panjang. Jadi ketika dana dari luar berhenti, media pun terdampak.
Warga Kabul, Arif Azizi, mengaku menikmati ledakan media di Afghanistan. Menurutnya ini membantu meningkatkan akuntabilitas dalam pemerintahan dan masyarakat. Tapi dia khawatir menyusutnya jumlah media akan membuat orang Afghanistan menderita.
“Makin banyak media makin banyak informasi yang bisa didapat masyarakat. Kalau banyak media tutup, informasi yang didapat masyarakat pun berkurang. Kasus-kasus kejahatan yang dulu dimuat di media akan kembali meningkat,” kata Arif Azizi.