Jenderal Min Aung Hlaing, Panglima Militer Myanmar, yang menjadi sasaran kecaman internasional telah mengungkapkan pandangannya tersebut di halaman Facebook-nya, Sabtu (16/9/2017), seperti dilaporkan kantor berita AFP.
"Mereka menuntut pengakuan sebagai Rohingya, yang tak pernah menjadi kelompok etnis di Myanmar. Bahasa Bengali memicu masalah nasional dan kita perlu bersatu dalam menegakkan kebenaran," kata pernyataan Min Agung di Facebook.
Militer mengatakan, "operasi pembersihan" militan dilakukan untuk merespons serangan militan Rohingya ke lebih dari 20 pos keamanan pada 25 Agustus 2017 sehingga akibat serangan menewaskan puluhan orang.
Namun, dunia internasional merujuk pada keterangan para pengungsi Rohingya, menduga operasi itu merupakan “pembersihan etnis” minoritas Rohingya yang beragama Islam.
Kekerasan bersenjata selama tiga minggu ini, sejak 25 Agustus, telah memicu pengungsian besar-besaran yang kini telah mencapai 400.000 warga Rohingya lari ke Banglades.
Para petinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menggambarkan bahwa operasi militer Myanmar tak pelak lagi sebagai "pembersihan etnis" Rohingya, sebuah kelompok tanpa negara yang telah mengalami penganiayaan dan penindasan selama bertahun-tahun.
Status minoritas Muslim telah lama menjadi topik yang eksplosif di Myanmar.
Di banyak kalangan mayoritas Buddhis memandang kelompok itu sebagai orang asing dari Banglades.
Warga lokal Myanmar tidak mengenal sebutan etnis Rohingya kecuali bersikeras mengatakan bahwa para imigran gelap itu tidak "orang Bengali" yang lari dari Banglades puluhan tahun silam.
Pemimpin sipil Myanmar, mantan aktivis demokrasi Aung San Suu Kyi, juga telah dikecam karena gagal memberi dukungan yang kuat bagi Rohingya.(Reuters/AP/AFP)