News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sekolah Bahasa Jepang Secara Berencana Menipu Lebih Dari 10 Pelajar Indonesia

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dua pengacara Jepang, Sayaka Hirose (kiri) dan Yusaku Mimura (kanan)

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo di Jepang

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Dua Pengacara Jepang dengan gigih memperjuangkan keberadaan para pelajar Indonesia yang kini berada di Jepang dan ternyata banyak kena tipu secara berencana oleh sekolah bahasa Jepang yang berkomplot dengan sebuah LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) di Indonesia.

"Keadaan saat ini cukup menyedihkan sekali, banyak pelajar Indonesia di Jepang ditipu oleh satu atau dua sekolah bahasa Jepang yang berkomplot dengan LPK yang ada di Indonesia," papar Yusaku Mimura pengacara Jepang khusus kepada Tribunnews.com di kantornya Kamis ini (9/5/2019).

Hal tersebut juga dibenarkan pengacara Jepang lain yang banyak pula berkecimpung membantu warga negara Indonesia, Sayaka Hirose.

"Benar sekali saya juga tidak sedikit menangani berbagai kasus orang Indonesia khususnye mengenai visa mereka. Dan pelajar Indonesia tidak sedikit yang kena tipu sekolah bahasa Jepang di Jepang sini," paparnya pula.

Membuktikan omongan kedua pengacara, mereka memperkenalkan seorang pelajar Indonesia dari Jawa Tengah kepada Tribunnews.com.

Karena namanya tak boleh diungkap terlebih dulu saat ini masih dalam proses bantuan hukum, sebutkan saja pelajar itu misalnya bernama Ali.

"Iya mas saya merasa ditipu LPK di Jawa Tengah tempat saya itu," ungkap Ali mulai menceritakan kisahnya.

Tahun lalu Ali tiba di Tokyo di antar bos LPK tersebut bahkan beserta isterinya. Diperkenalkan ke sekolah Jepang lalu ditinggal pergi.

Menurut Ali, bos LPK tersebut mengatakan uang sekitar 950.000 yen yang telah dibayarnya untuk biaya sekolah 6 bulan dan biaya apartemen 6 bulan juga.

"Kenyataan saya ditagih lagi pihak sekolah sekitar 531.000 yen karena dianggap hanya baru bayar 3 bulan saja. Saya kan kebingungan bayar mas," papar Ali.

Dari tempatnya di Jawa Tengah, Ali telah mengeluarkan uang sekitar 100 juta rupiah supaya bisa belajar di Jepang.

Sebagian 40 juta rupiah pinjaman dari Bank BRI dan 15 juta rupiah pinjaman dari bank swasta. Tiap bulan sedikitnya harus bayar 2 juta rupiah untuk membayar cicilan hutang bank selama 3 tahun, tambahnya.

Selain itu Ali juga telah menjual tanah neneknya 30 juta rupiah.

"Habis semua uang saya terpakai untuk belajar ke Jepang eh malah saya masih harus nombokin pula uang sekolah ini yang katanya belum dibayar oleh pihak LPK," ceritanya lagi.

Ali bukan sendirian. Dari angkatan ke-dua LPK tersebut ikut bersamanya total 12 orang termasuk dirinya dan 4 orang seniornya juga di sekolah yang sama sudah ada di Tokyo sehingga total 16 orang.

"Saya tahu bekerja maksimal 28 jam seminggu. Dengan kerja 28 jam seminggu tentu uang sangat kurang tak akan bisa hidup sebenarnya. Tapi saya takut melanggar aturan di Jepang, polisi saja sudah 19 kali memberhentikan saya menanyakan kartu penduduk Jepang saya, untuk selama ini mengikuti aturan jadi tak apa-apa, disuruh jalan lagi setelah diperiksa," tekannya lagi.

Namun teman-temannya banyak yang "over" melebihi ketentuan 28 jam seminggu untuk bekerja yang berarti melanggar aturan pemerintah Jepang.

"Mereka terpaksa bekerja lebih dari 28 jam karena harus bayar uang sekolah sama seperti saya. Padahal kita semua telah ditipu LPK Indonesia yang katanya uang yang kita bayar untuk 6 bulan, kenyataan hanya untuk 3 bulan," tegasnya lebih lanjut.

Oktober 2019 visanya akan habis dan Ali memang berniat pulang. Namun satu yang membuatnya bingung karena belum bisa melunasi hutangnya di perbankan di Indonesia.

Selain itu pihak kedua pengacara terutama Mimura juga mengungkap ketentuan pemerintah Jepang yang tertulis di situs kementerian kehakimannya (www.moj.go.jp), yang diperlihatkan kepada Tribunnews.com.

Situs Kementerian Kehakiman menuliskan, pemegang visa pelajar pada dasarnya dapat bekerja  28 jam per minggu (dapat bekerja dalam 8 jam per hari selama liburan sekolah). Jika mereka bekerja selama 28 jam per minggu, mereka dapat memperoleh 80.000 - 110.000 yen per bulan tergantung pada perfektur yang memiliki standar upah minimum yang berbeda. Jika mereka bekerja lebih lama dari peraturan, mereka akan dideportasi dari Jepang, atau tidak dapat memperpanjang visa pelajar dan harus berhenti belajar di Jepang. Siswa asing tidak dapat menanggung semua biaya kuliah dan biaya hidup dengan bekerja paruh waktu. 

Situs tersebut menuliskan  satu contoh sebagai peringatan dari seorang calo, "Jika Anda pergi ke Jepang, Anda dapat memperoleh lebih dari 300.000 yen per bulan sebagai paruh waktu. Jadi, Anda dapat menutup semua biaya kuliah dan biaya hidup dengan upah pekerjaan paruh waktu. Anda tidak harus menerima uang dari orang tua Anda dan lainnya, bahkan  Anda dapat mentransfer uang ke negara Anda. "

Namun, kisah seperti itu sepenuhnya palsu atau bohong besar karena secara hukum hanya dapat memperoleh 80.000 - 100.000 yen per bulan, tulis situs kementerian kehakiman itu.

"Itulah sebabnya saya ingin menginformasikan kepada semua orang Indonesia agar mempertimbangkan kembali saat ingin  ke Jepang untuk belajar bahasa Jepang di Sekolah Bahasa Jepang," tekan pengacara Mimura.

Kerja paruh waktu atau baito di Jepang per jam sekitar 1000 yen. Kalau seminggu kerja 28 jam berarti mendapatkan 28.000 yen dan sebulan berarti 4x28.000 yen hanya mendapat maksimum 112.000 yen.

Lalu dari mana asalnya uang 300.000 yen tersebut?

Informasi kementerian kehakiman Jepang itu jelas tidak sesuai dengan keadaan nyata yang ada di masyarakat sehingga membuat kekacauan pula dalam perhitungan biaya kehidupan di Jepang khususnya bagi pelajar asing, tambahnya.

Selain itu tambah Ali, saat tiba di Tokyo, pertama kali masuk sekolah, pihak sekolah bahasa Jepang yang dimasukinya juga tidak menjelaskan detil segala haknya atau lain hal.

"Saya hanya diantarkan untu menguruskan kartu asuransi. Mendaftarkan kartu Zairyu di kantor walikota saya. Tidak ada penjelasan apa pun soal sekolah dan biaya sekolah, hak dan kewajiban pelajar di sekolah tersebut," papar Ali lagi.

Ali juga mengingatkan ada marketing sekolah tersbeut yang mantan lulusan sekolah tersbeut dan berusaha menarik banyak murid dari Indonesia karena dapat komisi besar dari sekolah itu.

"Namun kemudian ditelantarkan dan janji palsu setelah kita masuk datang tiba di Jepang ini," tekannya lagi menyesal dan kesal dengan bos LPK di Indonesia yang telah menyusahkan dia dan temannya saat ini di Tokyo.

Setiap harinya, kata Ali, hanya makan telor saja karena tak punya uang.

"Saya tinggal bertiga di apato saya dan ditagih 30.000 yen per orang oleh pemiliknya," tambahnya.

Karena tak punya uang tiap hari kebanyakan makan telor saja, "Kalau ada makanan dari teman saya ya kita share makan bertigalah, sama-sama susah semua, saling bagi makanan. Tak ada uang lagi."

Lalu uang baito kerja paruh waktunya 20.000 yen sedikitnya sebulan dikirimkan ke Indonesia untuk bayar hutang pinjaman bank di Indonesia.

"Bahkan kini mbah saya sakit mas aduh pusing sekali deh tak ada uang sama sekali harus banyak puasa, InsyaAllah bisa puasa di Jepang mas. Yang penting jangan sampai sakit saja deh," harapnya lagi.

Banyak kasus penipuan kerja di Jepang saat ini dan LPK kurang baik di Indonesia di posting di FB Kerja di Jepang yang bisa gabung gratis. Silakan klik: https://www.facebook.com/groups/kerjadijepang/

"Yang terpenting jangan pernah perhatikan LPK atau agen kerja yang postingannya selap-selip di postingan orang lain. Kalau Lowongan dari postingan utama tidak apa, sudah kami seleksi dengan baik," papar Andari Nara, wanita, Adminnya kepada Tribunnews.com.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini