Penceramah itu juga mengatakan penganut Hindu di Malaysia lebih mendukung Perdana Menteri India Narendra Modi dibandingkan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.
Zakir Naik juga mengatakan penganut Hindu di Malaysia memiliki hak 100 kali lebih banyak dibandingkan minoritas Muslim di India.
Setelah dikritik, Zakir Naik menjelaskan pernyataannya dipetik di luar konteks. Bagaimanapun ia memohon maaf atas apa yang terjadi.
"Saya rasa saya perlu mohon maaf kepada semua pihak yang tersinggung karena salah paham ini," ujarnya sambil menambahkan tidak mempunyai niat berbuat demikian.
'Langkah politik'
Pada hari Minggu (18/08), Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengatakan penceramah tersebut telah memicu perasaan rasisme.
Mahathir mengatakan Naik "dapat berceramah tetapi dia tidak menerapkan hal itu ... dia berbicara tentang memulangkan orang China ke China, India ke India, bagi saya itu adalah sebuah langkah politik," demikian dilaporkan Bernama.
PM Mahathir Mohamad mengatakan Zakir telah melewati batas dan sejumlah menteri kabinet secara terbuka telah mendesak pengusirannya.
Namun demikian, ia mengatakan status Zakir Naik sebagai penduduk tetap di Malaysia baru akan ditinjau setelah kasus yang ditangani polisi rampung.
Meski mendapat desakan dari berbagai pihak di dalam negeri, Mahathir Mohamad mengulangi pendirian sebelumnya untuk tidak memulangkan Zakir Naik ke negara asalnya, dengan alasan khawatir pendakwah itu dibunuh di India nanti.
"Masalahnya sekarang kita bimbang beliau akan dibunuh."
Sebelumnya, pemerintah Malaysia tampak enggan menindak Naik karena khawatir akan membuat marah sebagian umat Muslim, di samping dapat memberikan amunisi kepada lawan politik.
Dia pindah ke Malaysia dari India pada tahun 2016. Di negara asalnya, ia masuk daftar buron terkait dugaan memicu ekstremisme dan pencucian uang. Zakir telah menyangkal tuduhan tersebut.
Pada tahun 2018, Zakir Naik pernah menjadi sosok laki-laki yang paling dikagumi di Indonesia pada pemeringkatan yang disusun oleh lembaga survei YouGov, di belakang mantan Presiden BJ Habibie, Presiden Joko Widodo dan mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Tahun 2010, Naik yang membuat saluran Peace TV dan memiliki banyak pendukung di dunia, dilarang memasuki wilayah Inggris.