Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Masa 50 tahun telah lewat dan banyak dokumen rahasia dibuka untuk umum. Salah satunya terungkap ternyata Jepang pernah jadi produsen morfin terbesar di dunia.
"Keterkaitan penjualan morfin opium dan narkoba Jepang banyak terkait dengan kalangan mafia Jepang (yakuza), untuk mendanai Perang Dunia II di masa lalu," ungkap sumber Tribunnews.com, Jumat (15/11/2019).
Keberhasilan Jepang saat itu tak lepas dari salah satu tokohnya adalah Naoki Hoshino, birokrat, pengusaha dan politisi Jepang yang bertugas di Zaman Taisho dan periode awal pemerintahan Shōwa Jepang.
Di Manchuria atau Manchukuo atau Manzhou, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Negara dan memimpin tim birokrat dari Kementerian Keuangan Jepang untuk menyediakan infrastruktur keuangan untuk wilayah baru tersebut pada Juli 1932.
Keberhasilannya mengelola di Manchuria yang dikuasai Jepang tahun 1930-an, menjadikan Jepang pada tahun 1935 sebagai produsen narkotika terbesar dunia menyumbang sekitar tiga ton atau 10 persen dari total pasokan morfin dunia dan 37 persen dari total produksi heroin.
Menurut kesaksian Jenderal Ryukichi Tanaka di hadapan Pengadilan Militer Internasional Timur Jauh selama jabatannya di Manchuria, pendapatan yang diperoleh dari opium dan lalu lintas narkotika lainnya menjadi sumber utama pendapatan bagi pemerintah Manchukuo.
Sejak 1937 Hoshino menjabat sebagai Wakil Menteri Urusan Keuangan Jepang dan mengawasi penciptaan dan secara pribadi mengarahkan Biro Monopoli Opium Negara yang menyebarkan penggunaan narkotika massal pertama di Manchuria dan kemudian di Cina sebagai cara untuk melunakkan perlawanan publik terhadap pendudukan dan ekspansi Jepang sambil menghasilkan keuntungan besar.
Baca: Konbini di Jepang Tak Lagi Beroperasi 24 Jam Per Hari, FamilyMart Berikan Insentif Bulanan
Baca: 5 Potret Foto Prewedding Boy William & Karen Vendela, Penuh Romantis dengan Tema Hitam & Putih
Di bawah kekuasaannya, puluhan ribu hektar diambil alih oleh dunia bawah tanah Jepang dan diproduksi pohon poppy.
Sementara lusinan laboratorium dibangun untuk mengubah menjadi opium dan menjadi berbagai tingkatan morfin dan heroin, sehingga ekonomi Manchuria menjadi sangat terikat kuat dengan obat-obatan.
Hoshino yang juga sempat menjadi Wakil Menteri Pengembangan Industri Jepang, tercatat sebagai penjahat perang kelas-A setelah perang berakhir.
Setelah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, ia dibebaskan, dan kemudian menjabat sebagai presiden Asahi Kaiun dan Presiden Diamond.
Sebagian narkotika yang diproduksi di Manchuria diekspor ke Jepang di mana digunakan oleh anak perusahaan industri tembakau Mitsui dari Mitsui zaibatsu dalam produksi rokok yang dipasarkan khusus untuk pasar Cina yang mempunyai merek populer di Timur Jauh "Golden Bat".
"Tujuannya tentu cari uang (dana) untuk perang saat perang dunia di masa lampau," tambah sumber itu.
Sedangkan pengusaha Jepang yang juga banyak dianggap sebagai yakuza Jepang adalah Hajime Satomi yang memiliki perusahaan di Nanjing China dengan nama Hung Chi Shan Tang (atau dieja dengan nama Hong Ji Shan Tang).
Satomi berhasil menjual opium dari Manchuria senilai 300 juta yuan pada tahun 1941. Padahal anggaran tahunan Pemerintah Nanjing adalah 370 juta yuan.
Baca: 5 Foto Prewedding Boy William dan Karen Vendela, Serba Hitam Putih Klasik nan Romantis
Baca: Mau Lulus Ujian Hukum Jepang, Naik Gunung Fuji Sambil Siaran Langsung Malahan Meninggal
Sebagian besar keuntungan dipasok kepada Jepang untuk mendanai perang tentara imperial Jepang saat itu.
Pada saat persidangan Kejahatan Perang Tokyo tahun 1948 terungkap pula militer Jepang menghitung hingga 300 juta dolar keuntungan penjualan opium per tahun saat itu.
Dianggap berhasil dalam misinya untuk membangun ekonomi yang menguntungkan bagi Kekaisaran Jepang di Manchuria, Hoshino yang lahir di Yokohama dipanggil kembali ke Jepang pada tahun 1940 sebagai kepala "Departemen Proyek" di dalam Kementerian Keuangan untuk melaksanakan reorganisasi ekonomi Jepang di bawah PM Fumimaro Konoe, Kabinet Konoe kedua.
Pada tahun 1941, ia menjadi anggota Kizokuin (Majelis Tinggi pada Parlemen Kekaisaran) dan pada tahun yang sama ia diangkat menjadi Sekretaris Kabinet di pemerintahan Hideki Tōjō dengan tugas untuk membentuk kembali ekonomi Jepang ke pijakan ekonomi perang dengan dasar sosialis negara.
Baca: Sejarah Misa Masyarakat Katolik Indonesia di Jepang Sudah Ada Sejak 40 Tahun Lalu
Baca: Gara-gara Protes Kalangan Oposisi Jepang, Acara Pesta Hanami Sakura 2020 Dibekukan
Setelah Jepang menyerah, Hoshino ditangkap oleh otoritas pendudukan Amerika dan diadili di hadapan Pengadilan Militer Internasional Timur Jauh sebagai penjahat perang Kelas A dengan tuduhan ayat 1, 27, 29, 31, 32 bersama-sama dengan anggota lain dari administrasi Manchuria yang bertanggung jawab atas kebijakan Jepang di Manchuria.
Hoshino dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Penjara Sugamo di Tokyo.
Sementara rekan dekatnya, Kenji Doihara, yang bertanggung jawab atas penyelundupan narkotika di daerah yang diduduki dan tidak ditempati, dijatuhi hukuman mati dan digantung.
Sebagai dakwaan saat itu, Hoshino dituduh sebagai alat pemerintah Jepang berturut-turut mengejar kebijakan sistematis melemahkan keinginan penduduk asli untuk melawan dan dengan secara langsung dan tidak langsung mendorong peningkatan produksi dan impor opium dan narkotika lainnya, dengan mempromosikan penjualan dan konsumsi obat-obatan semacam itu di antara orang-orang seperti itu membuat mereka lemah.
Hoshino dibebaskan dari penjara pada tahun 1958 dan menjabat sebagai presiden atau ketua sejumlah perusahaan, termasuk Tokyu Corporation.
Setelah itu Hoshino menerbitkan memoarnya pada tahun 1963, yang menciptakan sedikit sensasi karena kekagumannya yang tak terbatas terhadap prestasi Jepang di Manchukuo.
Dan hal yang tak terduga adalah dia kurang menghormati pemimpin masa perang Hideki Tōjō. Dia meninggal di Tokyo pada tanggal 16 Januari 1978.