Namun kapan mulai penerbangan itu belum dapat dipastikan.
Hal itu bergantung proses regulasi yang masih tertunggak di masing-masing negara dan minat para maskai penerbangan.
“Kalau sudah penerbangan langsung akan bagus. Itu menjadi langkah awal. Mobilitas barang dan orang dengan sendirinya menjadi cepat jika ada penerbangan langsung,” tutur Abraham.
Saat masih menjabat tahun 2015 lalu, Wakil Gubernur NTT, Benny A Litelnoni pernah mengatakan agar perlu kajian sosiologis dan geografis untuk merealisasikan kawasan tersebut.
Hal itu agar tidak terjadi ketimpangan dalam kerjasama mengingat masih banyaknya aturan dalam negeri masing-masing negara yang memproteksi usaha tertentu.
Sementara perwakilan dari Charles Darwin University, Ruth Wallace telah menyampaikan hasil kajian sebagai tim independen tahun 2015.
Ada delapan rekomendasi yang diberikan.
Pertama, pemerintah mendorong penguatan fungsi institusi bisnis ketiga negara.
Kedua, pemerintah dan institusi bisnis harus mampu membuka kesempatan hubungan antarmasyarakat sebagai basis penguatan bisnis.
Ketiga, Indonesia dan Australia agar mendukung Timor Leste dalam keanggotaan ASEAN.
Keempat, menciptakan iklim yang mendukung perdagangan dan investasi lewat pengembangan pariwisata.
Kelima, menciptakan branding tourism bersama agar bisa dijual ke luar.
Hal ini penting untuk mengembangkan industri pariwisata sebagai salah satu pilar ekonomi.
Keenam, pertukaran tenaga kerja ketiga negara lewat pengembangan penelitian dan pendidikan juga pelatihan guna pengembangan SDM.
Ketujuh, kerja sama universitas ketiga negara terutama di bidang industri pertanian dan kelautan.
Kedelapan, kerja sama di bidang industri peternakan yang lebih maju.