Di awal masa jabatannya, Duterte menuduh saluran penyiaran ini gagal menyiarkan iklan kampanye 2016.
Presiden juga mengatakan bahwa pihak TV tidak mengembalikan pembayaran yang dilakukan untuk mereka.
Sejak saat itu, Duterte juga berulang kali mengancam dan meremehkan media dalam negeri.
Dia menuduh lembaga penyiaran menciptakan berita palsu dan menyebut wartawan sebagai mata-mata dan sebutan kasar lainnya.
Kelompok-kelompok hak dan kebebasan pers mengatakan perintah penutupan itu merupakan serangan terhadap hak kebebasan berbicara.
Padahal raksasa siaran di Filipina ini menyiarkan liputan berita yang ditonton jutaan orang setiap harinya.
Pembredelan ABS-CBN terjadi di masa sulit Filipina karena harus menghadapi pandemi Covid-19.
Apalagi kini banyak informasi yang tidak bisa dipercaya melalui media online.
"Ini adalah pukulan yang sangat serius bagi kebebasan pers di Filipina," kata Carlos Conde dari Human Rights Watch.
"Sulit untuk berpikir bahwa Duterte tidak ada hubungannya dengan ini," tambahnya.
Dalam sebuah pernyataan di Facebook, Asosiasi Koresponden Asing Filipina mengecam penolakan untuk memperbarui lisensi penyiar dengan mengatakan itu mengancam kebebasan pers.
"Ketika Filipina menarik diri dari kejatuhan pandemi virus corona, mata kritis ABS-CBN sekarang dibutuhkan lebih dari sebelumnya untuk membantu memberi informasi kepada publik," kata pernyataan itu.
Butch Olano dari Amnesty International menilai langkah tersebut sangat sembrono karena negara itu berurusan dengan pandemi Covid-19.
Baca: Presiden Filipina Ancam Beri Sanksi Berat Pelanggar Lockdown, Duterte: Tembak Mati Mereka
Baca: Presiden Ganas Duterte Larang Keras Vaping di Tempat Umum, Muhammadiyah Rilis Fatwa Haram Vape
"Ini adalah hari yang gelap untuk kebebasan media di Filipina, yang mengingatkan pada darurat militer ketika kediktatoran menguasai kantor-kantor berita," katanya.
Menurut CNN Filipina, keputusan untuk tidak memperpanjang lisensi ABS-CBN menandai pertama kalinya lembaga penyiaran dibredel sejak September 1972.
Ketika itu Presiden Ferdinand Marcos menempatkan negara itu di bawah darurat militer.
Filipina berada di peringkat 136 dari 180 negara dalam World Press Freedom Index RSF 2020.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)