TRIBUNNEWS.COM - Para pengunjuk rasa di sekiranya 12 kota AS menentang jam malam yang diberlakukan pada Sabtu malam, (30/5/2020).
Mereka berkumpul di jalan dan meluapkan kemarahan mereka atas kematian George Floyd, pria kulit hitam tak bersenjata yang tewas di tangan polisi.
Dikutip Tribunnews dari Al Jazeera, ratusan pengunjuk rasa berada di Minneapolis, Minnesota, lokasi di mana George FLoyd meninggal pada Senin pekan lalu.
"Kami tak membutuhkan jam malam, kami perlu perubahan," ungkap penduduk Minneapolis yang telah tinggal di sana selama 20 tahun.
Baca: Polisi Pembunuh George Floyd Dipindah ke Oak Park Heights, Penjara Berkeamanan Maksimum
Baca: Tak Ingin Kasus George Floyd Terulang, Paul Pogba Serukan Tindak Rasisme Dihentikan Total
Lebih lanjut, para pengunjuk rasa bertahan di jalanan setidaknya sampai keempat petugas polisi yang terlibat dalam kematian George Floyd didakwa.
Sejauh ini, hanya satu petugas, Derek Chauvin, telah ditangkap.
Untuk diketahui, Chauvin, polisi berkulit putih, menindih leher George Floyd selama hampir sembilan menit.
Bahkan ketika George Floy merintih, "Aku tidak bisa bernapas", dan orang-orang di sekitarnya mendesak Chauvin untuk melepaskan George Floyd.
Kematian George Floyd Membangkitkan Luka Lama
Secara terpisah, huru-hara demonstran tidak hanya atas kematian George Floyd.
Tapi juga mengingat luka lama, atas pembunuhan yang dilakukan oknum polisi dan kekerasan terharap orang Afrika-Amerika tak bersenjata.
Pada 2015 lalu, para pengunjuk rasa berdemonstrasi selama lebih dari dua minggu, setelah polisi membunuh Jamar Clark (24) di Minneapolis.
Tak ada tuntutan yang diajukan terhadap petugas polisi yang terlibat.
Tahun berikutnya, Philando Catile (32) terbunuh oleh polisi pada saat pemberhentian lalu lintas di pinggiran kota Saint Paul.