"Tidak ada harapan bagi keluarga untuk mendapatkan kompensasi karena mereka adalah penambang lepas," kata Hlaing.
"Aku tidak melihat rute untuk keluar dari siklus semacam ini."
"Orang-orang mengambil risiko, pergi ke tempat pembuangan sampah, karena mereka tidak punya pilihan," jelasnya.
Longsor yang fatal memang sering terjadi di daerah pertambangan Hpakant.
Baca: PMI Respons Migran Myanmar yang Terdampar di Aceh Utara
Baca: Pulang dari Myanmar, Belasan WNI di Bali Kaget Ditagih Biaya Tempat Karantina dan Bayar Tes Swab
Korbannya rata-rata warga miskin yang mempertaruhkan hidup demi mengumpulkan pundi uang dari batu giok itu.
Pemimpin pemerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi, berjanji untuk membersihkan industri ketika mulai berkuasa pada 2016.
Namun para aktivis menilai tidak banyak perubahan signifikan pada bisnis pertambangan.
Penjualan resmi batu giok di Myanmar bernilai $ 750,4 juta atau Rp 10 triliun pada 2016-2017, menurut data Prakarsa Transparansi Industri Ekstraktif.
Tetapi para ahli percaya bahwa nilai sebenarnya dari industri ini, terutama diekspor ke China, jauh lebih besar.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)