"Kami telah menyimpulkan bahwa tidak ada efek menguntungkan dari hydroxychloroquine pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19," tulis profesor Peter Horby dan Martin Landray, kepala peneliti dari RECOVERY Trial.
"Karena itu kami telah memutuskan untuk berhenti mendaftarkan peserta menggunakan hydroxychloroquine dari RECOVERY Trial dengan efek langsung."
Setelah penelitian itu mendapatkan liputan media yang signifikan, Organisasi Kesehatan Dunia, Institut Kesehatan Nasional dan produsen HCQ generik Novartis juga menghentikan uji coba hydroxychloroquine mereka, dengan alasan kurangnya manfaat bagi pasien dan masalah dengan pendaftaran pasien.
Sanofi, perusahaan farmasi Prancis yang memproduksi obat anti-malaria, juga menghentikan uji klinis HCQ.
Langkah yang diambil organisasi dan perusahaan utama tersebut untuk menghentikan uji coba HCQ telah membuat banyak orang percaya bahwa obat itu tidak lagi menjadi pilihan untuk pengobatan COVID-19 yang efektif.
Tetapi sejumlah dokter dan pasien COVID-19 yang sembuh masih terus menggembar-gemborkan keefektifan obat itu.
Padahal, sejumalahpenelitian tidak menemukan manfaat atau malah ada peningkatan angka kematian.
Peneliti Henry Ford menghubungkan perbedaan antara keefektifan HCQ dalam penelitian mereka dibandingkan dengan ketidakefektifan obat dalam penelitian lain terhadap waktu dan prosedur.
"Manfaat hydroxychloroquine dalam kohort kami dibandingkan dengan penelitian sebelumnya mungkin terkait dengan penggunaannya di awal perjalanan penyakit dengan standar, dosis aman, kriteria inklusi, komorbiditas, atau kohort yang lebih besar."
"Kemudian terapi pada pasien yang sudah memiliki respons hiperimun yang dialami atau penyakit kritis cenderung kurang bermanfaat, "catat mereka.
Biaya produksi HCQ dan azitromisin harian juga secara signifikan lebih rendah daripada biaya untuk memproduksi remdesivir, obat COVID-19 lain yang telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada pasien, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Virus Eradication.
Dilansir CNN.com, Gilead Sciences, selaku perusahaan yang membuat remdesivir, merilis pernyataan resmi pada Senin (29/6/2020) pagi.
Gilead telah menentukan harga diskon yaitu 390 dolar AS (Rp5,5 juta) per botol kecil untuk pemerintah Amerika Serikat.
Harga itu termasuk juga untuk rumah sakit Urusan Veteran dan Departemen Pertahanan dan pemerintahan di negara berkembang.