Perjanjian pengendalian senjata ini dinegosiasikan pada 1992.
Open Skies memungkinkan negara-negara yang berpartisipasi, termasuk AS dan Rusia, untuk melakukan penerbangan observasi tanpa senjata di atas wilayah satu sama lain.
Setiap negara memiliki kuota tahunan untuk berapa banyak penerbangan yang harus diterima dan berapa banyak yang dapat dilakukan.
Para kritikus menilai, penarikan itu merupakan pukulan besar bagi sekutu AS.
Moskow telah menunjukkan dirinya lebih tertarik pada pengawasan udara negara-negara Eropa daripada pengawasan AS.
Awal bulan ini, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menuntut jaminan tertulis dari anggota NATO yang tersisa, data apa pun yang mereka kumpulkan mulai saat ini tidak akan dibagikan dengan AS.
Dia juga mengatakan pangkalan AS di Eropa tidak akan dibebaskan dari misi pengawasan Rusia.
Baca juga: Vladimir Putin Ungkap Belum Siap Akui Joe Biden sebagai Presiden AS
Baca juga: Siap Kerjasama dengan Siapapun Presiden AS, Tapi Putin Belum Ucapkan Selamat ke Joe Biden
'Satu pukulan lagi' untuk pengendalian senjata
Menulis di Twitter, Steven Pifer, rekan non-residen di Brookings Institution's Arms Control and Non-Proliferation Initiative, menyebut penarikan itu "satu pukulan lagi" oleh administrasi Presiden AS Donald Trump.
Khususnya, untuk upaya pengendalian senjata dan meminta Presiden terpilih Joe Biden untuk bergabung kembali dengan perjanjian itu.
Dalam sebuah artikel, Pifer mencatat, meskipun satelit pengintai AS lebih unggul dari pesawat yang diizinkan dalam perjanjian Open Skies, perjanjian tersebut memiliki "beberapa keuntungan".
Termasuk memberi "sekutu dan mitra AS yang kekurangan satelit pencitraan canggih kesempatan untuk mengumpulkan data yang membangun kepercayaan."
Dia menambahkan, pesawat memiliki "fleksibilitas lebih besar" daripada satelit dan penerbangan yang dapat digunakan sebagai pernyataan politik.
Baca juga: Hakim Tolak Tiga Gugatan Kubu Trump untuk Hentikan Jalan Joe Biden Menuju Presiden AS
Ini Kata Biden saat Trump Berencana Keluar dari Open Skies