TRIBUNNEWS.COM - Di seluruh dunia, pasangan yang sebelumnya bahagia menjadi berpisah dan bercerai karena pandemi Covid-19.
Pandemi menciptakan tekanan pada hubungan akibat terkurung bersama di dalam rumah.
Perubahan pengasuhan anak, urusan rumah dan pekerjaan, hingga perselingkuhan pun terjadi.
Hal itu dialami oleh Reni di Nigeria, Rafaela Carolina Ferreira Schmidt di Brasil selatan, dan Kieron Byatt di Australia.
Bagi beberapa orang seperti mereka, lockdown telah mengungkap rahasia dalam hubungan, dan mereka harus menghadapi dampaknya.
Baca juga: Angka Perceraian Tinggi saat Pandemi: Didominasi Pasutri Muda
Berikut kisah mereka, dilansir BBC.
Pandemi Mengungkap Perselingkuhan Suami
Bagi Reni, lockdown membuka tabir kebenaran tentang pernikahannya.
Reni mengatakan, dia biasanya terlalu sibuk hingga merasa bahwa suaminya telah berperilaku dingin dan tidak seperti biasanya.
Hal itu membuatnya memeriksa ponsel sang suami.
Saat itulah, Reni mengetahui bahwa suaminya memiliki kekasih.
Ketika mengetahui kenyataan itu, Reni mencoba mengonfirmasi kepada suaminya.
Pria itu justru hanya berkata, "Bagaimana kamu bisa membuka ponselku?"
"Itu pukulan besar. Saya pikir dia ingin bercerai. Dia tidak tahu saya berbicara dengan Anda sekarang, itulah mengapa saya tidak bisa menunjukkan wajah asli saya," ujar Reni, diam-diam berinteraksi dengan BBC tanpa sepengetahuan keluarganya.
Baca juga: Penerapan WFH, Angka Perceraian dan Kasus KDRT Meningkat
Namun, terlepas dari perselingkuhan suami yang terkuak, perceraian bukanlah pilihan.
"Aku menelepon orang tuaku dan menangis. Tapi orang tuaku adalah orang Kristen, mereka tidak percaya pada perceraian atau perpisahan."
"Mereka menyuruhku bertahan, tidak peduli apa yang suamiku lakukan," ujar Reni.
"Apakah aku mencintainya? Aku tidak yakin lagi. Aku hanya berharap dia tidak berbicara dengannya (selingkuhannya) lagi."
"Tapi aku senang aku mengetahuinya, itu membuat pikiranku tenang, bahwa perilaku kasarnya bukan salahku," imbuhnya.
Pandemi Tidak Menyisakan Apapun
Pandemi juga berdampak pada hubungan Rafaela (31) dan Richard Cunha Schmidt (41).
Pasangan yang tinggal di Florianopolis, Brasil selatan, ini telah berumah tangga selama 12 tahun.
Namun, mereka bercerai pada November 2020 lalu.
Mereka mengatakan, lockdown adalah katalisnya.
Baca juga: Kemenag: Setiap Tahun Ada 400 Ribu Perceraian dari 2 Juta Pernikahan
"Sebagian besar, itu adalah 12 tahun yang indah bersama," kata Rafaela.
"Namun, pandemi tidak menyisakan apapun. Ternyata dalam hubungan 24 jam dengan dua anak dan satu kantor pusat, banyak hal yang tidak cocok lagi," tuturnya.
Rafaela menjelaskan, ada saat-saat dimana dirinya dan Richard saling marah dan tidak sepakat.
Mereka kemudian menggunakan situasi itu untuk melawan satu sama lain.
"Masalah memakai masker, pulang ke rumah, melepas pakaian dan mandi, saya menganggapnya sangat serius. Pandangannya berbeda. Saya pikir itu lucu sekarang, tetapi kami sangat marah pada saat itu," terang Rafaela.
Rafaela dan Richard mulai bertengkar tentang banyak hal, yang bahkan merupakan hal yang tidak penting dan membuang waktu.
"Lockdown sangat ketat, kami tidak bisa meninggalkan rumah, bahkan untuk menghirup udara segar."
"Dan saya pikir, pada awalnya saya tidak menerima semua kekakuan ini," ujar Richard.
Rafaela dan Richard mengakhiri pernikahan mereka secara berdamai dan tetap berteman.
Rafaela pindah ke tempat yang tak jauh dari lokasi dirinya dan Richard tinggal sebelumnya.
Mereka masih bertemu setiap hari, menghabiskan waktu bersama dengan dua putri mereka.
"Lockdown membuat kami menghadapi masalah dengan berani, pasrah, dan tidak melarikan diri," kata Richard.
Rafaela pun sependapat dengan mantan suaminya itu.
Ia mengatakan, "Berpisah bukanlah yang saya inginkan."
"Tapi saya tidak melihat alternatif lain. Saya pikir kami adalah dua orang yang sangat baik. Saya pikir kami berdua pantas untuk bahagia."
Pandemi Bikin Patah Hati
Pandemi menghadirkan tantangan tentang bagaimana bertahan dari patah hati selama lockdown.
Di Melbourne, Australia, musisi Kieron Byatt, beberapa waktu lalu duduk di kamar bersama pacarnya yang telah menjalin hubungan dengannya selama sembilan tahun.
Mereka terkurung di rumah saat musim dingin tiba, tanpa kehidupan normal, dan hubunganpun goyah.
"Ini terjadi begitu cepat. Saya pikir lockdown akan segera berakhir. Kami beralih dari berbicara tentang membeli rumah bersama di awal tahun...dan dia pergi, dan saya hanya merasa begitu sendirian," ungkap Kieron.
Kieron berusaha menjalani rutinitas kerja dan olahraga yang ketat untuk mengalihkan patah hatinya.
Namun, rasa sakit karena perpisahan akibat lockdown selama 112 hari di Melbourne membuat mentalnya terganggu.
"Ketika perpisahan itu terjadi, Melbourne buka kembali, dan ada kabar bahwa akan lockdown lagi. Itu seperti, 'seberapa buruk yang bisa terjadi?' Titik di mana saya benar-benar down, dan saya hanya menangis," tutur Kieron.
Kieron mengatakan, kini dia melewati hari-hari dengan harapan masa depan yang lebih cerah.
"Setiap hari menjadi lebih baik. Tapi kemudian Anda masih memiliki hari-hari yang mengerikan. Dan tahukah Anda, ini sangat mirip dengan keseluruhan situasi Covid-19 ini," katanya.
"Ada hari-hari di mana jumlah kasus menurun, dan suatu hari kembali lagi. Dan Anda harus menjaga harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja," lanjut Kieron.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)