TRIBUNNEWS.COM - Usaha untuk memakzulkan Presiden AS Donald Trump dua kali dalam satu tahun kembali muncul Jumat (9/1/2021) saat sejumlah anggota kongres dari Partai Demokrat menyerukan dukungan mereka untuk langkah tersebut.
Dilansir Market Watch, dalam sebuah surat untuk rekannya, Ketua DPR Nancy Pelosi menyiratkan akan melanjutkan langkah pemakzulan jika presiden tidak mengundurkan diri sesegera mungkin atau jika wakil presiden serta mayoritas anggota kabinet Trump menolak untuk menyerahkan kekuasaan.
"Menyusul tindakan Presiden yang berbahaya dan menghasut, Partai Republik di Kongres perlu ... meminta Trump untuk meninggalkan kantornya - segera," tulis Pelosi.
"Jika Presiden tidak meninggalkan jabatannya dalam waktu dekat dan dengan sukarela, Kongres akan melanjutkan tindakan kami."
Baca juga: Trump Dianggap sebagai Biang Kekacauan, Ketua DPR Nancy Pelosi Minta Otoritas Nuklirnya Dicabut
Baca juga: Akun Twitter Donald Trump Ditutup Permanen karena Dinilai Bisa Picu Kekerasan Lebih Lanjut
Pelosi juga berbicara dengan Ketua Kepala Staf Gabungan Mark Milley tentang upaya mencegah Trump mencetus konflik militer.
Keduanya membahas tindakan pencegahan untuk mencegah presiden memulai permusuhan militer atau mengakses kode peluncuran dan memerintahkan serangan nuklir.
Drew Hammill, wakil kepala staf Pelosi mengatakan pada hari Jumat bahwa laptop yang digunakan oleh kantor Pelosi untuk presentasi dicuri dari ruang konferensi selama invasi Capitol pada hari Rabu (6/1/2021) lalu.
Anggota DPR Katherine Clark dari Massachusetts, politisi Demokrat peringkat keempat dalam kepemimpinan DPR, mengatakan di Twitter hari Jumat bahwa pihaknya "secara aktif bekerja untuk menentukan waktu dan jalur tercepat untuk meminta pertanggungjawaban Trump."
Langkah itu dapat berupa pemungutan suara untuk pemakzulan minggu depan.
Demokrat lainnya, termasuk Rep. Elissa Slotkin dari Michigan dan Rep. Abigail Spanberger dari Virginia juga menyerukan pencopotan presiden.
"Jika kami menolak untuk menanggapi aksi Presiden AS yang menghasut pemberontakan melawan demokrasi kami, kami berisiko kehilangannya selamanya," kata Spanberger dalam sebuah pernyataan.
Namun, pemakzulan kali ini nampaknya menjadi hal yang sulit untuk dilakukan, mengingat adanya 2 hambatan yang disebutkan oleh Chris Krueger, seorang analis dari Cowen Washington Research Group.
"Waktu dan juga suara 67 senator, tampaknya akan menjadi dua hambatan terbesar untuk menggulingkan Trump dari jabatannya melalui pemakzulan," tulis Krueger.
"Pasal pemakzulan harus diputuskan, dengar pendapat dan pemungutan suara Komite Kehakiman DPR harus dilakukan, lalu pemungutan suara DPR, kemudian sidang Senat dalam waktu sekitar 300 jam selama pandemi."
Namun, konstitusi tidak mengharuskan DPR mengadakan pemungutan suara di komite kehakiman.
Sekelompok Demokrat DPR juga telah meluncurkan resolusi yang menuduh Trump menyalahgunakan kekuasaan presiden.
"Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan presiden yaitu mencoba untuk membatalkan hasil pemilu November secara tidak sah, termasuk suara Pemilihan Presiden 2020 di Negara Bagian Georgia, dan menghasut kekerasan dan mengatur percobaan kudeta," menurut Roll Call.
Resolusi itu dapat dipilih oleh DPR dalam waktu yang relatif singkat, tetapi hambatan nyata untuk menggulingkan presiden adalah Senat, di mana aturan tetap mengharuskan ada persidangan formal sebelum pemungutan suara untuk pencopotan.
Sidang pemakzulan Presiden Trump tahun lalu membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk diselesaikan.
Proses itu relatif cepat mengingat tidak ada saksi yang dipanggil.
Dengan persetujuan bulat, Senat sebenarnya dapat menyetujui untuk mengubah aturan tentang pemakzulan untuk memungkinkan dilakukannya pemungutan suara cepat.
Tetapi itu tidak mungkin terjadi mengingat bahwa beberapa Partai Republik di Senat setia kepada presiden, dengan yang lain setidaknya enggan untuk menggulingkannya dari kantor.
Untuk benar-benar mencopot presiden dari jabatannya, 2/3 anggota Senat harus memilih untuk mencopotnya dari jabatannya.
Dengan 49 senat Demokrat saat ini, butuh 18 senat Republikan untuk menyetujui pencopotan.
Senator Mitt Romney dari Utah, satu-satunya Republikan yang memilih untuk memakzulkan Trump tahun lalu, mengatakan kepada Huffington Post hari Kamis, "Saya pikir waktunya agak singkat" untuk mengejar pemakzulan.
"Saya pikir kita harus menahan napas selama 20 hari ke depan," katanya.
"Dewan dapat mengeluarkan pasal pemakzulan dengan relatif cepat, tetapi persidangan Senat akan berlangsung lama dan oleh karena itu tidak mungkin," tulis Steve Pavlick, kepala kebijakan di Renaissance Macro dalam catatan Jumat kepada klien.
Senator Lindsay Graham, seorang Republikan dari South Carolina, juga mengatakan bahwa dia belum mendukung pencopotan Trump dari jabatannya.
"Sebagai seorang Republikan, saya tidak mendukung upaya untuk meminta Amandemen ke-25," katanya.
"Sekarang jika sesuatu yang lain terjadi, semua opsi akan dibahas," tambahnya.
Ia juga menyiratkan Partai Republik bisa saja berubah pikiran jika presiden mulai mengambil tindakan gegabah, seperti mengampuni para pelaku perusuh di Capitol.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)