Mereka termasuk pesawat angkut Y-8, delapan pembom H-6K dan empat jet tempur J-16. Sehari sebelumnya China hanya mengirim satu pesawat Y-9 untuk berpatroli di daerah yang sama.
Para analis politik dan militer mengkhawatirkan kemungkinan bentrok fisik secara tidak sengaja di tengah suasana tegang ini.
“Apa yang kami lihat di sini adalah postur dan kontra-postur karena Beijing secara khusus mencoba untuk menyelidiki dan menguji pemerintahan Biden,” kata Collin Koh.
“Mereka mengukur batas yang mungkin dicapai titik-titik api regional tersebut,” lanjut kata Collin Koh, peneliti Studi Internasional di Sekolah S Rajaratnam Singapura.
“Masalahnya adalah risiko insiden yang tidak disengaja yang melibatkan pasukan saingan, katakanlah, di Laut China Selatan. Risiko pertempuran kecil akibat interaksi taktis seperti itu cukup besar," katanya.
Koh mengatakan pemerintahan baru AS kadang-kadang terlibat insiden di Laut China Selatan. Contohnya, saat terjadi bentrokan pesawat tempur tiga bulan setelah George W Bush jadi Presiden.
Saat itu seorang pilot China tewas. Liu Weidong, spesialis urusan AS dari Akademi Ilmu Sosial China, mengatakan tidak realistis mengharapkan kedua militer menjadi bersahabat dalam waktu singkat.
"Biden sebagian besar akan fokus pada masalah internal Amerika," kata Liu.
“Dia mungkin tidak akan lebih kuat dalam masalah militer daripada (pendahulunya) Trump, tapi mungkin juga tidak lebih lembut darinya,” imbuhnya.
“Kedua militer perlu mempertahankan sikap yang kuat, menyisakan sedikit ruang untuk meningkatkan hubungan mereka,” ujar Weidong.
Laut China Selatan selama bertahun-tahun telah menjadi titik nyala dalam hubungan China-AS yang semakin sulit.
Militer AS terus meningkatkan aktivitasnya di perairan yang diperebutkan saat China menegaskan klaim teritorialnya di daerah tersebut terhadap klaim tetangga yang bersaing termasuk Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei, dan Taiwan.(Tribunnews.com/SCMP/xna)