News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Krisis Myanmar

Kudeta Militer di Myanmar, 42 Pejabat Diculik, 16 Aktivis Hilang Misterius

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tentara berjaga di jalan yang diblokade menuju parlemen Myanmar di Naypyidaw pada 1 Februari 2021, setelah militer menahan pemimpin de facto negara itu Aung San Suu Kyi dan presiden negara itu dalam sebuah kudeta.

TRIBUNNEWS.COM, NAYPYIDAW - Berita soal kudeta militer yang dilakukan dini hari baru disadari masyarakat Myanmar setelah mereka terbangun pada Senin (1/2/2021) pagi.

Tak sedikit warga baru mulai menyadari pihak militer sudah menguasai negara itu saat mereka bersiap memulai harinya.

"Saya kira saya akan langsung men-tweet kudeta sekarang," tulis mantan jurnalis Reuters Aye Min Thant di Twitter sesaat sebelum pukul 07.00 waktu setempat.

"Keadaan masih cukup sepi untuk saat ini, meskipun orang bangun dan ketakutan. Saya telah menerima panggilan sejak pukul 6 pagi dari teman dan kerabat. Internet masuk dan keluar dan kartu sim saya tidak lagi berfungsi."

Pengambilalihan itu diumumkan dalam pernyataan yang disiarkan di stasiun televisi milik militer. Komandan militer tertinggi Myanmar disebut sudah mengambil alih pemerintahan dan keadaan darurat satu tahun telah diumumkan.

Baca juga: Selain Kudeta Myanmar, Ini 5 Kudeta Militer Berbahaya Beberapa Tahun Terakhir

Sementara Pemimpin sipil negara itu, Aung San Suu Kyi, telah ditahan, bersama dengan anggota partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) miliknya.

Langkah itu terjadi setelah kemenangan telak partai Suu Kyi dalam pemilihan November lalu. Tapi pihak militer mengklaim pemilu dirusak oleh banyak penyimpangan.

Suu Kyi pun mendesak para pendukungnya untuk "memprotes kudeta".

Myanmar, juga dikenal sebagai Burma, diperintah oleh angkatan bersenjata hingga 2011. Kondisinya berubah ketika reformasi demokrasi yang dipimpin oleh Suu Kyi mengakhiri kekuasaan militer.

Seorang penduduk kota utama Myanmar, Yangon, mengatakan kepada BBC bahwa dia mengatahui kondisi kudeta saat bersiap untuk jalan-jalan pagi. Dia menerima pesan dari seorang teman yang memberitahunya tentang penahanan Suu Kyi.

Pria berusia 25 tahun ini pun langsung memeriksa media sosialnya. Dia meminta namanya tidak disebutkan karena takut akan "pembalasan".

"Bangun untuk mengetahui bahwa dunia Anda telah benar-benar terbalik dalam semalam bukanlah perasaan baru, tetapi perasaan yang saya pikir telah kita tinggalkan, dan perasaan yang tidak pernah terpikir oleh kita akan dipaksa untuk kita rasakan lagi," dia berkata, merefleksikan masa kecilnya di bawah pemerintahan militer.

"Yang benar-benar mengejutkan saya adalah melihat bagaimana menteri daerah kita semua ditahan. Karena ini artinya mereka benar-benar mengambil semua orang, bukan hanya Aung San Suu Kyi," tambahnya.

Penangkapan anggota parlemen daerah Pa Pa Han disiarkan langsung di Facebook oleh suaminya.

Aktivis politik, termasuk pembuat film Min Htin Ko Ko Gyi, juga dilaporkan telah ditahan.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) di Myanmar mengatakan kepada BBC telah mendokumentasikan penangkapan setidaknya 42 pejabat, dan 16 aktivis masyarakat sipil.

Mereka menyatakan masih melakukan proses verifikasi, karena beberapa tahanan juga telah dibebaskan pada hari itu.

"Kami terbangun dengan berita kudeta militer di pagi hari dan beberapa teman kami ditahan," kata seorang aktivis lokal yang identitasnya, kepada program Newsday BBC.

"Konektivitas internet sudah tidak ada lagi ... Saya tidak bisa keluar dan menggunakan telepon saya, tidak ada data sama sekali. Ini yang terjadi sekarang. Ada mobil militer berkeliaran di sekitar kota," katanya.

Wartawan lokal Cape Diamond lewat kicauan di Twitter mengatakan bahwa di ibu kota, Naypyidaw, kehilangan sinyal dari pukul 04:00 hingga 11:15 waktu setempat.

"Tidak ada panggilan, Tidak ada Wifi," tulisnya kemudian di Twitter.

Gangguan internet Myanmar

Ketika militer mengambil alih kekuasaan, gangguan internet memengaruhi area yang luas.

Pembatasan dimulai pada pukul 03.00 pada Senin waktu setempat. Konektivitas internet turun hingga 50 persen dari tingkat normal konektivitas internet pada pukul 08:00.

Data tersebut menunjukkan gangguan yang memengaruhi operator jaringan termasuk Myanma Post and Telecommunications (MPT) milik negara dan operator internasional Telenor, menurut layanan pemantauan internet Netblocks.

Netblocks mengatakan temuannya menunjukkan mekanisme gangguan diatur secara terpusat. Prosesnya berkembang dari waktu ke waktu karena operator “mematuhi perintah”.

Pada tengah hari, konektivitas internet tampaknya kembali hingga 75 persen.

Pemerintah Myanmar sebelumnya telah membatasi internet, terutama di daerah-daerah di negara bagian Rakhine dan Chin, tempat tentara memerangi kelompok-kelompok lokal.

Pasal 77 Undang-Undang Telekomunikasi Myanmar yang disahkan pada 2013, mengizinkan pemerintah memutus telekomunikasi selama keadaan darurat nasional.

Namun, kelompok hak asasi manusia telah menyerukan agar undang-undang tersebut diubah untuk melindungi kebebasan berekspresi.

Saluran TV internasional dan domestik, termasuk stasiun televisi negara, tidak mengudara. Bendera merah cerah NLD diturunkan dari rumah dan bisnis di Yangon.

"Tetangga saya baru saja menurunkan bendera NLD-nya. Ketakutan akan kekerasan itu nyata," tulis jurnalis dan peneliti Annie Zaman di Twitter.

Dia kemudian membagikan video pengibaran bendera di pasar lokal. Terlihat orang-orang menimbun persediaan penting dan mengantre di ATM.

Bank menangguhkan layanan karena koneksi internet yang buruk, tetapi menyatakan akan memulai kembali layanan mulai Selasa (2/2/2021).

Wartawan BBC Burmese Service Nyein Chan Aye mengatakan suasana di Yangon menggambarkan "ketakutan, kemarahan dan frustrasi".

Menurutnya setelah terburu-buru membeli kebutuhan pokok, seperti beras, banyak orang yang tinggal di dalam rumah menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kekhawatiran masa depan

Ini adalah masa yang sulit secara ekonomi bagi banyak orang di Myanmar. Kondisi kudeta membuat banyak orang mengkhawatirkan hal-hal mendasar.

"Saya khawatir jika harga (barang) akan naik. Saya khawatir karena putri saya belum menyelesaikan sekolah (pendidikan). Ini baru setengah jalan. Juga ini adalah masa pandemi," kata Ma Nan, seorang pedagang di Yangon kepada BBC.

Than Than Nyunt, seorang ibu rumah tangga di Yanong, juga khawatir harga barang akan naik dan orang-orang akan memberontak.

“Saya berharap Aung San Suu Kyi dan rekan-rekannya akan dibebaskan lebih cepat," katanya.

Ketakutan menjadi nyata, jika kudeta ini berarti kembali ke jenis kehidupan di bawah pemerintahan militer pada 1990-an dan 2000-an.

Saat itu militer telah melancarkan kudeta berdarah pada 1988. Ribuan orang tewas ketika mahasiswa memimpin pemberontakan melawan pemerintahan satu partai bergaya Soviet.

Suu Kyi menjadi terkenal pada saat itu. Dia berjuang melawan aturan militer dan pelanggaran hak asasi manusia selama dua dekade, setelah militer menolak menerima kemenangan pemilihannya pada 1990.

Kehidupan di Myanmar dibayangi korupsi, harga yang berfluktuasi, penindasan terhadap kehidupan sehari-hari, kekurangan gizi kronis di beberapa daerah, dan perselisihan etnis di daerah lain.

Banyak yang sekarang khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

 Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mulai Rasakan “Perubahan” Pasca Kudeta, Warga Myanmar Suarakan Kekhawatiran di Medsos"

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini