Pemerintah Myanmar sebelumnya telah membatasi internet, terutama di daerah-daerah di negara bagian Rakhine dan Chin, tempat tentara memerangi kelompok-kelompok lokal.
Pasal 77 Undang-Undang Telekomunikasi Myanmar yang disahkan pada 2013, mengizinkan pemerintah memutus telekomunikasi selama keadaan darurat nasional.
Namun, kelompok hak asasi manusia telah menyerukan agar undang-undang tersebut diubah untuk melindungi kebebasan berekspresi.
Saluran TV internasional dan domestik, termasuk stasiun televisi negara, tidak mengudara. Bendera merah cerah NLD diturunkan dari rumah dan bisnis di Yangon.
"Tetangga saya baru saja menurunkan bendera NLD-nya. Ketakutan akan kekerasan itu nyata," tulis jurnalis dan peneliti Annie Zaman di Twitter.
Dia kemudian membagikan video pengibaran bendera di pasar lokal. Terlihat orang-orang menimbun persediaan penting dan mengantre di ATM.
Bank menangguhkan layanan karena koneksi internet yang buruk, tetapi menyatakan akan memulai kembali layanan mulai Selasa (2/2/2021).
Wartawan BBC Burmese Service Nyein Chan Aye mengatakan suasana di Yangon menggambarkan "ketakutan, kemarahan dan frustrasi".
Menurutnya setelah terburu-buru membeli kebutuhan pokok, seperti beras, banyak orang yang tinggal di dalam rumah menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kekhawatiran masa depan
Ini adalah masa yang sulit secara ekonomi bagi banyak orang di Myanmar. Kondisi kudeta membuat banyak orang mengkhawatirkan hal-hal mendasar.
"Saya khawatir jika harga (barang) akan naik. Saya khawatir karena putri saya belum menyelesaikan sekolah (pendidikan). Ini baru setengah jalan. Juga ini adalah masa pandemi," kata Ma Nan, seorang pedagang di Yangon kepada BBC.
Than Than Nyunt, seorang ibu rumah tangga di Yanong, juga khawatir harga barang akan naik dan orang-orang akan memberontak.
“Saya berharap Aung San Suu Kyi dan rekan-rekannya akan dibebaskan lebih cepat," katanya.