TRIBUNNEWS.COM - Donald Trump menjadi presiden pertama dalam sejarah Amerika Serikat yang dimakzulkan dua kali.
Tak hanya itu, Trump juga merupakan satu-satunya yang dimakzulkan meski sudah tak lagi menjabat sebagai presiden.
Tujuan utama dari pemakzulan yaitu mencopot jabatan presiden yang saat itu bertugas.
Namun hal itu tak lagi bisa dilakukan karena Donald Trump memang sudah menyelesaikan masa jabatannya.
Lalu apa yang membuat Kongres Amerika tetap ingin memakzulkan Donald Trump?
Meski Trump sudah tidak lagi menjabat, hukuman akan memungkinkan pemungutan suara kedua untuk melarangnya mencalonkan diri sebagai presiden lagi.
Baca juga: 4 Fakta Sidang Perdana Pemakzulan Donald Trump: Demokrat Ceritakan Kembali Suasana Kerusuhan Capitol
Baca juga: Jelang Sidang Pemakzulan Donald Trump, Ini 6 Hal yang Perlu Diketahui
Setelah apa yang terjadi pada 6 Januari lalu, Kongres mengambil sikap bipartisan.
Dewan Perwakilan Rakyat AS memakzulkan Trump karena menghasut upaya kekerasan untuk menggulingkan Capitol, kerusuhan yang menyebabkan kematian enam orang.
Dilansir Independent, pakar konstitusi Sandra Seder mengatakan, Trump mungkin dapat meninggalkan jabatannya tanpa janggalan, jika bukan karena pemberontakan.
"Saya tidak berpikir pemakzulan akan berhasil, terlepas dari perilakunya seputar pemilihan Georgia."
Perilaku Trump termasuk dalam kategori "Pengkhianatan, Suap, atau Kejahatan dan Pelanggaran Tingkat Tinggi lainnya."
"Orang-orang di Capitol dibohongi dan dituntun untuk percaya bahwa proses Electoral College bisa dihentikan," kata Seder.
"Itu adalah serangan terakhirnya setelah mencoba merusak hasil pemilu AS di Georgia," lanjutnya.
"Trump membuat para pengikutnya percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah suara Electoral College, setelah benar-benar meminta seorang pejabat di Georgia untuk melakukan sesuatu yang dia tidak memiliki wewenang untuk melakukannya."
Pasal pemakzulan menyebutkan panggilan telepon Trump kepada seorang pejabat Georgia yang memintanya untuk "menemukan" lebih banyak suara, serta Amandemen ke-14 yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat memegang jabatan jika mereka "terlibat dalam pemberontakan."
Baca juga: Pengacara Trump: Tak Ada Satu Kata pun dalam Pidatonya Menyebabkan Kerusuhan Capitol AS
Tapi sekarang setelah dia keluar dari jabatannya dan telah dimakzulkan untuk kedua kalinya, apakah ada gunanya mengajukan dakwaan ke Senat untuk pemungutan suara?
Jawabannya adalah: Mungkin.
Hakim Roberts akan memimpin proses pemakzulan, dua per tiga dari senator (atau 67 suara) harus memberikan suara yang mendukung.
Seder percaya, demi mencalonkan diri di masa depan, beberapa Senator Republik dapat memberikan suara dengan Demokrat.
Jika pemungutan suara gagal, sekali lagi, Trump tidak akan "dicopot" dari jabatannya.
Skenario hukuman yang mungkin terjadi adalah Trump bisa kehilangan manfaat seumur hidup yang diberikan kepadanya oleh Undang-Undang Mantan Presiden.
Manfaat itu termasuk tunjangan perjalanan 1 juta dolar AS untuknya dan 500.000 dolar AS untuk Melania.
Pensiun seumur hidup dan detail Secret Service juga bisa hilang.
Trump juga bisa kehilangan hak untuk dimakamkan dengan hormat.
Kemungkinan lain adalah bahwa pemakzulan Trump dapat membuka pintu bagi penyelidikan kriminal.
Hal itu tidak tergantung pada Senat, tetapi kategorisasi "Pengkhianatan, Penyuapan, atau Kejahatan dan Pelanggaran Tingkat Tinggi lainnya" memang menunjukkan pelanggaran kriminal.
Menurut Konstitusi, "Pihak yang didakwa tetap bertanggung jawab dan tunduk pada dakwaan, pengadilan, keputusan dan hukuman, menurut hukum."
Trump tidak akan secara otomatis dilarang mencalonkan diri lagi sebagai presiden, karena pemungutan suara kedua harus dilakukan.
Keputusan itu tidak membutuhkan suara dua pertiga, tetapi hanya mayoritas sederhana.
Dengan Senat terbagi 50-50, dan wakil presiden, Kamala Harris, berperan sebagai tie breaker, "hukuman" itu bisa lolos dengan mudah.
Ada argumen konstitusional yang bisa didapat bahwa Senat yang dikendalikan Demokrat mungkin akan mencoba melakukan ini bahkan jika Trump dinyatakan tidak bersalah.
Mereka akan menerapkan pasal tiga dari amandemen ke-14 pasca-perang saudara terhadap konstitusi AS.
Isi pasal itu yaitu melarang siapa pun yang telah "terlibat dalam pemberontakan atau kerusuhan" terhadap AS dari memegang jabatan federal.
Namun, kemungkinan besar akan menjadi subjek sengketa hukum yang signifikan jika hal itu dilakukan.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)