Seperti diketahui, Myanmar sekarang dikuasai militer sejak 1 Februari 2021.
Para pemimpin terpilih termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditahan.
Malaysia termasuk di antara sedikit negara di kawasan itu yang menyatakan keprihatinan tentang langkah militer itu.
"Saat dunia mengutuk kekerasan politik di Myanmar, kami terkejut melihat bahwa pemerintah Malaysia malah memilih untuk mengirim 1.200 orang ke situasi yang memburuk dengan cepat," kata Amnesty and Asylum Access.
Baca juga: Klarifikasi Kemlu RI Terkait Protes Demonstran Myanmar di Depan KBRI Yangon
Memperluas Perlindungan
Amnesty International juga mengirimkan surat banding kepada Perdana Menteri Muhyiddin Yassin pada Selasa (23/2/2021), menekankan skala "oposisi publik" terhadap rencana deportasi tersebut.
Dikatakan telah menerima lebih dari 1.000 surat yang menyerukan Malaysia untuk menghentikan pencopotan itu.
Malaysia adalah rumah bagi jutaan migran dari seluruh wilayah, baik berdokumen maupun tidak, yang sering bekerja dalam jenis pekerjaan dengan bayaran rendah yang tidak ingin dilakukan oleh orang Malaysia.
Ada juga hampir 180.000 pengungsi dan pencari suaka, menurut UNHCR, Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sebagian besar berasal dari Myanmar, termasuk 102.250 Rohingya, serta puluhan ribu dari kelompok etnis minoritas lainnya yang melarikan diri dari konflik di tanah air mereka.
Mereka juga berisiko ditahan sebagai migran "tidak berdokumen" karena Malaysia bukan penandatangan Konvensi PBB tentang Pengungsi.
Baca juga: Uni Eropa Siap Berikan Sanksi kepada Militer Myanmar
Badan Pengungsi PBB belum dapat mengunjungi pusat penahanan imigrasi di negara itu sejak Agustus 2019.
"Ini adalah waktu untuk memperluas perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari Myanmar dan memberikan akses kepada PBB, bukan menyerahkan mereka ke tangan junta militer dengan rekam jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia yang serius," kata Amy Smith, Direktur Eksekutif Fortify Rights, dalam sebuah pernyataan yang menyerukan Malaysia untuk menghentikan deportasi tersebut.
"Rencana ini membahayakan nyawa dan memberikan legitimasi yang tidak layak untuk kudeta militer yang kejam di Myanmar."
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)