TRIBUNNEWS.COM - Junta militer Myanmar memberlakukan darurat militer di lebih banyak distrik di seluruh negeri setelah aksi protes paling mematikan teradi sejak kudeta Februari.
Dilansir BBC.com, sekitar 50 orang dilaporkan tewas ketika pasukan dan polisi menembaki pengunjuk rasa di berbagai daerah pada hari Minggu (14/3/2021).
Sebagian besar kematian terjadi di Yangon.
Kekerasan itu terjadi sehari sebelum pemimpin sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi dijadwalkan hadir di pengadilan.
Pada hari Senin, sidang virtualnya ditunda karena masalah internet.
Pengunjuk rasa pro-demokrasi menuntut pembebasan Suu Kyi, ketua Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang menang telak dalam pemilihan November lalu.
Baca juga: 38 Orang Tewas di Myanmar saat Pabrik-pabrik China Dibakar
Baca juga: Seorang Polisi Myanmar Dilaporkan Tewas dalam Aksi Protes Anti-Kudeta Militer
Aung San Suu Kyi telah ditahan di lokasi yang tidak diketahui sejak kudeta 1 Februari.
Suu Kyi akan menghadapi banyak tuduhan, yang menurut para pendukungnya tuduhan itu dibuat-buat.
Militer menahan sebagian besar kepemimpinan NLD setelah kudeta, dengan tuduhan penipuan pemilih.
Tidak ada bukti kecurangan pemilu yang diungkapkan.
Status Darurat Militer
Militer awalnya mengumumkan darurat militer di dua distrik Yangon (Rangoon), kota terbesar di negara itu, pada hari Minggu (14/3/2021) setelah bisnis milik China diserang.
Darurat militer kemudian diberlakukan juga di beberapa daerah lain di Yangon dan Mandalay pada hari Senin.
Akibatnya, para pengunjuk rasa di sana sekarang dapat diadili di pengadilan militer.
Para pengunjuk rasa percaya China memberikan dukungan kepada militer di Myanmar, tetapi tidak jelas siapa yang berada di balik serangan akhir pekan tersebut.
Sebagian besar korban pada hari Minggu dilaporkan di Yangon.
Secara total, lebih dari 120 pengunjuk rasa telah tewas selama tindakan keras tersebut, menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Pada hari Senin ada protes baru di Mandalay dan sejumlah lokasi lainnya.
Ada laporan korban tewas setelah pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa di pusat kota Myingyan dan Aunglan.
Tuduhan kepada Suu Kyi
Aung San Suu Kyi menghadapi tuntutan di antaranya memicu "ketakutan dan kewaspadaan", memiliki peralatan radio secara ilegal, dan melanggar aturan Covid.
Suu Kyi dapat terancam hukuman beberapa tahun penjara dan juga bisa menyebabkan dia dilarang mencalonkan diri dalam pemilihan mendatang jika terbukti bersalah.
Pekan lalu, militer juga menuduh pemimpin yang digulingkan secara ilegal itu menerima $ 600.000 dan 11kg emas - klaim yang dibantah NLD.
Demo Anti-kudeta
Pengamat internasional independen membantah klaim militer atas pemilu curang yang diadakan pada November 2020, dengan mengatakan tidak ada penyimpangan yang telihat.
Sejak kudeta, militer telah menggunakan kekuatannya untuk mencoba memadamkan protes, menyebabkan puluhan orang tewas dan memicu kecaman dunia internasional.
Amerika telah mengumumkan sanksi terhadap para pemimpin kudeta, sementara langkah-langkah juga diambil untuk memblokir akses oleh militer ke $ 1 miliar dana pemerintah yang disimpan di AS.
Militer menepis kritik atas tindakannya, malah menyalahkan Suu Kyi atas kekerasan tersebut.
Sekilas tentang Myanmar (Burma)
Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948.
Untuk sebagian besar sejarah modernnya, Myanmar berada di bawah kekuasaan militer.
Pembatasan militer mulai longgar sejak 2010 dan seterusnya.
Hal itu mengarah pada pemilihan bebas pada 2015 dan pelantikan pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin oposisi veteran Aung San Suu Kyi pada tahun berikutnya.
Pada 2017, tentara Myanmar menanggapi serangan terhadap polisi oleh militan Rohingya dengan tindakan keras mematikan.
Mereka mendorong lebih dari setengah juta Muslim Rohingya melintasi perbatasan ke Bangladesh.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Ikuti perkembangan terbaru krisis di Myanmar di sini