TRIBUNNEWS.COM - Demo anti-kudeta Myanmar masih berlanjut hingga saat ini.
Seperti diketahui, junta Myanmar mengambilalih kekausaan pemerintahan sipil sejak 1 Februari 2021 lalu.
Para pengunjuk rasa dan pelayat turun ke jalan di tengah laporan bahwa pasukan keamanan menewaskan tiga orang di Yangon, hanya dua hari setelah 114 orang tewas pada hari paling berdarah sejak kudeta Myanmar.
Dilansir dari Al Jazeera, media dan saksi mata menerangkan, seorang pria tewas dan beberapa lainnya dilaporkan terluka pada Senin (29/3/2021), ketika pasukan keamanan menembaki satu lingkungan di Yangon.
"Dia ditembak di kepala," kata Thiha Soe, saksi mata, kepada kantor berita Reuters.
Baca juga: Korban Tewas di Myanmar Capai 500 Orang saat Demonstran Gelar Aksi Protes Anti Kudeta Militer
Baca juga: AS akan Menyetop Perdagangan Diplomatik dengan Myanmar sampai Kudeta Dicabut
"Mereka menembaki semua yang ada di jalan, bahkan tim Palang Merah. Ini masih berlangsung saat aku berbicara denganmu," bebernya.
Polisi dan juru bicara militer tidak mengomentari tuduhan tersebut.
Palang Merah Myanmar mengatakan kepada Reuters, mereka sedang memeriksa laporan tersebut.
Baca juga: POPULER INTERNASIONAL Staf Angkatan Udara Jepang Belajar Bahasa Indonesia | Militer Myanmar Berpesta
Membubarkan Barikade dengan Granat
Seroang penduduk menuturkan, dua orang tewas di distrik Yangon lainnya ketika pasukan keamanan bergerak untuk membersihkan barikade pengunjuk rasa.
"Kami dapat memastikan dua orang terbunuh di lingkungan kami," kata penduduk lingkungan Dagon Selatan, yang meminta diidentifikasi sebagai Win.
"Sekira 15 anggota pasukan keamanan datang dan menembak sekeliling," ungkap Win.
Win menambahkan bahwa pasukan keamanan menggunakan granat untuk membubarkan barikade.
Berdasarkan penghitungan oleh kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, 462 warga sipil telah terbunuh sejak kudeta.
Baca juga: Thailand Bersiap Hadapi Potensi Eksodus Pengungsi dari Myanmar
Terlepas dari kekerasan oleh pasukan keamanan, kerumunan massa muncul di pusat Kota Bago, Minhla, Khin-U, Pinlebu dan Taze, Mawlamyine di selatan, Demoso di timur dan Hsipaw dan Mytitkyina di utara.
Komite Pemogokan Umum Kebangsaan, sebuah kelompok protes, dalam sebuah surat terbuka di Facebook meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang "penindasan yang tidak adil" oleh militer.
"Organisasi etnis bersenjata perlu secara kolektif melindungi rakyat," kata kelompok protes itu.
Pejuang dari berbagai kelompok etnis minoritas telah berjuang melawan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara dan pasukan di timur dan utara.
Bentrokan besar meletus pada akhir pekan di dekat perbatasan dengan Thailand antara tentara dan pejuang dari pasukan etnis minoritas tertua di Myanmar, Serikat Nasional Karen (KNU).
Baca juga: Militer Myanmar Lukai Balita dan Kembali Tembak Mati Warga Sipil, Total Korban Tewas 459 Orang
Penduduk Myanmar Melarikan Diri ke Thailand
Sebuah kelompok aktivis dan media menyatakan, sekira 3.000 penduduk desa melarikan diri ke Thailand ketika jet militer membom daerah KNU, menewaskan tiga warga sipil, setelah sebuah pos militer diserang oleh para pejuang dan 10 orang tewas.
Puluhan ribu orang Karen telah tinggal di kamp-kamp di Thailand selama beberapa dekade.
"Tolong, biarlah ini menjadi masalah internal. Kami tidak ingin ada eksodus, evakuasi ke wilayah kami, tetapi kami akan memperhatikan hak asasi manusia juga," kata Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha.
Baca juga: Di Tokyo, Prabowo Subianto dan Menhan Jepang Bahas Situasi Myanmar
Tony Cheng dari Al Jazeera, melaporkan dari Bangkok, mengatakan lebih banyak penduduk desa diperkirakan akan melintasi perbatasan.
"Dilaporkan ada 10.000 lagi menunggu untuk menyeberangi perbatasan," kata Cheng.
"Ini adalah malam kedua berturut-turut telah terjadi serangan udara. Kami telah mendengar dari orang-orang yang melintasi perbatasan bahwa mereka terlalu takut untuk kembali," ucap Cheng.
"Ini adalah pertama kalinya mereka melihat serangan udara yang signifikan seperti ini sejak perjanjian damai 2015 ditandatangani dengan militer Myanmar," tambah Cheng.
Berita lain terkait dengan Myanmar
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)