Berkley mengatakan bahwa COVAX yang merupakan program vaksinasi global terbesar dalam sejarah, telah memesan lebih dari 2 miliar dosis.
Namun sebagian besar vaksin ini akan didistribusikan pada paruh kedua tahun ini.
Berkley mengaitkan penundaan itu dengan istilah 'nasionalisme vaksin', ini berarti hanya ada sedikit dosis yang tersedia untuk global.
India misalnya, negara ini telah menjadi pemasok vaksin terbesar di dunia, khususnya untuk negara miskin dan berkembang.
Negara tersebut kini telah memangkas ekspor vaksinnya dalam upaya untuk lebih fokus melakukan vaksinasi terhadap warganya sendiri sebagai tanggapan terhadap munculnya gelombang baru Covid-19 di sana.
"Kami telah memperkirakan, pada bulan Maret dan April kami akan memperoleh sekitar 90 juta dosis. Tapi kami curiga bahwa kami akan mendapatkan jumlah yang jauh lebih sedikit dari itu, dan itu tentunya akan menjadi masalah, tegas Berkley.
Sementara itu di AS, Presiden Joe Biden pada awal Maret lalu telah memerintahkan tindakan vaksinasi terhadap tiap orang dewasa Amerika, masing-masing memperoleh dua dosis vaksin.
Uni Eropa (UE), Kanada dan Meksiko telah meminta AS mempertimbangkan rencananya untuk berbagi dosis secara lebih luas, termasuk vaksin yang belum disetujui untuk digunakan di AS.
Berkley mengatakan bahwa di bawah kepemimpinan Biden, AS telah menjadi 'pendukung Gavi dan COVAX yang luar biasa'.
Ia berharap negara tersebut akan memberikan akses bagi negara miskin dan berkembang untuk mendapatkan kapasitas produksi.
"Setelah kebutuhan AS terpenuhi, fasilitas tersebut benar-benar dapat digunakan bagi seluruh dunia, yang dapat membantu menghentikan pandemi akut," pungkas Berkley.