Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Organisasi Hak Asasi Manusia internasional mengutuk keras junta militer Myanmar yang menjatuhkan hukuman mati kepada 19 orang.
Seperti dilansir Reuters, Minggu (11/4/2021), ini menjadi penggunaan hukuman mati pertama yang diketahui sejak militer merebut kekuasaan 1 Februari.
Media pemerintah junta militer melaporkan pada Jumat (9/4/2021), bahwa 19 orang telah dijatuhi hukuman mati karena perampokan dan pembunuhan personil militer oleh pengadilan militer.
Myawaddy TV melaporkan 17 di antaranya diadili secara in absentia.
Mereka ditangkap di Kotaping Okkalapa, Utara Yangon - salah satu dari enam area di pusat komersial yang saat ini berada di bawah darurat militer, yang berarti siapa pun yang ditangkap di sana diadili oleh pengadilan militer.
Baca juga: Batasi Gerakan Antikudeta, Junta Militer Myanmar Putus Akses Internet
Enam kota ini adalah rumah bagi sekitar dua juta orang - lebih dari seperempat populasi di Yangon.
Sementara Myanmar telah lama memiliki hukuman mati dalam Undang-Undangnya.
“Myanmar belum melakukan eksekusi selama lebih dari 30 tahun,” kata wakil direktur divisi Asia untuk Human Rights Watch, Phil Robertson.
"Ini menunjukkan militer siap untuk kembali ke masa ketika Myanmar biasa mengeksekusi orang," katanya.
Hal ini mengkhawatirkan, menurut Phil Robertson, karena tidak dimungkinkan adanya banding, pengadilan tertutup dan tidak ada rasa keadilan di dalamnya.
Baca juga: Lebih dari 80 Demonstran Anti-Kudeta Tewas Ditembak Aparat Keamanan Myanmar
“Kasus di pengadilan militer berarti tidak mungkin ada banding, dan tidak ada jaminan persidangan yang bebas dan adil dengan cara, bentuk atau bentuk apa pun", tambahnya.
Pemberlakukan kembali hukuman mati itu bisa menjadi taktik untuk menakut-takuti demonstran untuk keluar ke jalanan dan melakukan aksi mogok kerja nasional.
Karena gelombang aksi protes dan mogok kerja telah membuat banyak pusat ekonomi Myanmar terhenti.