Sejauh ini junta militer menghadapi aksi protes dengan tangan besi, baik melakukan penahanan maupun penembakan.
Junta tak mengacuhkan seruan dari sejumlah negara tetangga dan PBB agar menghentikan kekerasan.
Di Yangon, anak-anak muda Myanmar berkumpul di sebuah pojokan jalan sebelum mereka berkonvoi bersama menuju pusat kota. Namun mereka akhirnya bubar untuk menghindari bentrokan dengan junta.
Baca juga: Baru 2 Hari Pemimpin ASEAN Hasilkan Konsensus, Tentara Myanmar Sudah Tembak Mati Rakyatnya
“Target kami adalah menjatuhkan kediktatoran militer,” teriak mereka, sembari mengacungkan tiga jari sebagai symbol penentangan.
Di Negara Bagian Shan, para pemuda membentanglan spanduk bertuliskan “Kami menolak diperintah.”
Sejumlah ledakan bom dilaporkan terjadi di sejumlah bagian di Yangon hari Minggu lalu.
Serangkaian ledakan itu telah terjadi dan dalam intensitas yang terus meningkat di bekas ibukota dan junta militer menyalahkan hal itu pada “provokator.”
Sejauh ini belum ada klaim siapa yang bertanggung jawab adalah ledakan-ledakan bom itu.
Baca juga: Militer dan Milisi Berperang, Ribuan Penduduk Myanmar Melarikan Diri ke Thailand
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), yang memantau situasi, mengatakan pasukan militer telah menewaskan sedikitnya 765 demonstran sejak terjadinya kudeta. Selain itu, 4.609 orang dilaporkan telah ditahan.
Militer, yang menilai AAPP sebagai organisasi illegal, mengakui bahwa 258 telah tewas, bersama dengan 17 polisi dan tujuh tentara.
Myanmar dikuasai militer hamper 50 tahun, hingga mereka melakukan proses reformasi 10 tahun lalu.
Panglima militer Min Aung Hlaing menyatakan, kudeta diperlukan karena adanya dugaan kecurangan dalam pemilihan umum November lalu yang dimenangkan telak oleh NLD.
Sementara Komisi Pemilihan Umum mengaku tidak mendapati adanya bukti pelanggaran ataupun kecurangan.
Konflik berkepanjangan di Myanmar ini telah membuat khawatir masyarakat internasional.