TRIBUNNEWS.COM - Derita yang dialami Tenaga Kerja Wanita (TKW) Muslikhah asal Indonesia di Singapura cukup pedih. Dia dipaksa makan potongan kapas kotor dan rontokan rambut di kamar mandi oleh majikannya.
Tidak itu saja, wanita 24 tahun itu juga beberapa kali mengalami kekerasan oleh majikannya.
Dalam peribahasa daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Artinya, sebaik-baik negeri orang tidak sebaik di negeri sendiri.
Penyiksaan atau kekerasan juragan kepada asisten rumah tangga ini akhirnya bergulir di Pengadilan Singapura.
Baca juga: Janda Anak 2 di Medan Disiksa Pacarnya Selama 3 Hari, Leher Dirantai, Alami Luka Disekujur Tubuh
Terdakwanya bernama Tan Hui Mei (35).
Di hadapan hakim Tan mengaku bersalah atas lima dakwaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ditimpakan kepadanya.
Dikutip dari Channel News Asia, Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara delapan minggu kepada Tan, Rabu 5 Mei 2021.
Ia juga wajib membayar kompensasi sebesar 3.200 dolar Singapura kepada asisten rumah tangga yang merupakan warga Indonesia.
Baca juga: ART Asal Jatim Disiksa Majikan dan Tidak Digaji di Malaysia, KBRI: Ini Seperti Fenomena Gunung Es
Jika tidak membayar, hukuman penjara akan ditambah 16 hari.
Vonis hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang menghendaki penjara 12-15 minggu dan denda 3.200 dolar Singapura.
Rangkaian penyiksaan terhadap asisten rumah tangga (ART) asal Indonesia itu terjadi di rumah yang dihuni Tan bersama suami dan tiga anak perempuannya serta ibu Tan.
Muslikhah mulai bekerja untuk Tan pada November 2018.
Ia dijanjikan upah 600 dolar Singapura per bulan.
Ia diberi tugas pekerjaan rumah tangga, memasak, merawat anak bungsu Tan, yang saat itu masih balita.
Namun antara November 2018 sampai Maret 2019, Tan disebutkan memaksa korban menelan potongan kapas kotor di atas meja makan.
Baca juga: Lagi–lagi ART Indonesia Disiksa Majikan di Malaysia, Gaji 5 Tahun Tak Dibayar
Tan menunggu untuk memastikan korban memasukkan kapas tersebut ke mulutnya.
Pada kurun waktu yang sama, Tan juga menyuruh asisten rumah tangga ini makan rontokan rambut dari lantai kamar mandi.
Tan juga menunggu di kamar mandi untuk memastikan tenaga migran Indonesia ini memakannya.
Bulan Desember 2018, korban menelepon polisi dan mengatakan bahwa Tan menamparnya beberapa kali jika Tan tidak puas atas hasil kerjanya.
Namun pada saat itu, tenaga kerja Indonesia ini masih bersabar dan tetap kembali bekerja di rumah Tan.
Pada 30 Maret 2019, korban memandikan dan menyuapi anak Tan.
Setelah itu, ia meninggalkan balita tersebut di ruangan yang di sana ada anak kedua dan ibu Tan.
Ketika balita tersebut menangis, korban tidak mendatanginya dengan pertimbangan ada nenek balita dan kakak perempuannya di ruangan itu.
Namun Tan, yang saat itu sedang tidur di kamarnya, memarahi korban dan menanyai mengapa korban tidak menjaga anaknya.
Saat ART tersebut berusaha menjelaskan, Tan menampar pipi kiri dan kanannya serta memukul keningnya tiga kali hingga menimbulkan lebam.
Muslikha cuma diam saja dan tidak membalas kekerasan Tan.
Ia melanjutkan tugasnya mengurusi pekerjaan rumah tangga.
Malamnya, Tan memanggil ART ke kamarnya dan mengatakan ia tidak bisa tidur lantaran kakinya sakit.
Tan meminta korban memijat kakinya.
Namun korban tertidur saat memijat kaki.
Tan mencubit lengan bawah ART dan menyuruhnya jangan tertidur lagi.
Meski merasa sakit, ART melanjutkan pijatannya.
Belakangan, korban memberi tahu kakak perempuannya tentang kasus yang dialaminya.
Kakak korban menelepon dan meminta bantuan Sentra Pegawai Domestik.
Polisi kemudian mendatangi kediaman Tan, dan korban dibawa ke rumah sakit dengan lebam-lebam di kening dan lengannya.
Wakil Jaksa Penuntut Umum Kathy Chu mengatakan, Tan tidak mengakui perbuatannya pada awal penyelidikan.
Korban tidak bekerja selama tujuh bulan, sejak April 2019 hingga ia mendapatkan pekerjaan baru pada Desember 2019.
Chu menuntut Tan hukuman penjara 12-15 minggu dan kompensasi sedikitnya 3.200 dolar AS atas penyiksaan dan hilangnya pendapatan selama tidak bekerja.
Kuasa hukum terdakwa semula meminta hukuman percobaan atau denda.
Namun ketika hakim menolaknya, kuasa hukum meminta hukuman penjara tidak lebih dari enam minggu dan perintah kompensasi yang lebih ringan.
Ia mengatakan, ini baru kasus pertama kliennya dan bahwa apa yang dilakukannya bukanlah sifat dia sebenarnya.
Disebutkan, Tan telah mempekerjakan ART selama 10 tahun dan tidak ada kasus sebelumnya.
Bahkan kuasa hukum menyertakan testimoni sifat baik Tan dari seorang mantan ART.
Tan yang hamil pada trimester itu meminta izin bicara langsung dengan hakim.
Ia mengakui salah dan meminta keringanan.
Alasannya, ia memiliki tiga anak, dan satu lagi akan lahir, seorang ibu yang sakit-sakitan.
“Saya hanya ingin Anda tahu, saya memang salah, dan keluarga membutuhkan saya, saya tidak ingin melahirkan di penjara dan dipisahkan dari anak-anak saya,” ujarnya.
Namun hakim menegaskan bahwa hukuman bagi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah penjara, kecuali ada situasi yang mendesak.
Dalam kasus Tan, kata hakim, tidak ada situasi yang mendesak.
Hakim menyinggung dua luka fisik pada korban serta dampak psikologis lantaran dipaksa makan kapas dan rambut rontok. (Tribun Network/ChannelNewsAsia/Tribun-Medan.com)
Artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Derita TKW di Singapura, Dipaksa Makan Kapas Kotor dan Rontokan Rambut di Kamar Mandi