TRIBUNNEWS.COM, ANKARA – Presiden Turki Tayyip Erdogan dan dan Raja Saudi Salman bin Abdul Aziz membahas hubungan kedua negara lewat telepon. Kabar dikutip dari Aljazeera, Rabu (5/5/2021).
Ankara ingin meningkatkan hubungan dengan Riyadh setelah hubungan diguncang skandal pembunuhan Jamal Khashoggi oleh regu pembunuh bayaran Saudi di Konsulat Saudi di Istanbul.
Dalam pernyataan singkatnya, Direktorat Komunikasi Turki mengatakan kedua pemimpin "mengevaluasi" masalah-masalah yang mempengaruhi kedua Negara.
Keduanya sepakat menyiapkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memajukan kerja sama kedua negara.
Aparat keamanan Turki menemukan jejak pembunuhan kritikus Jamal Khashoggi pada 2018 dilakukan regu pembunuh Arab Saudi di dalam konsulat kerajaan di Istanbul.
Jasad korban hingga hari ini belum dite
Baca juga: Dinyatakan Bersalah oleh Pengadilan, 5 Pembunuh Jurnalis Arab Saudi Jamal Khasoggi Dihukum Mati
Baca juga: Blinken Akan Stop Dukung Saudi di Yaman, Haines Janji Buka Rahasia Pembunuhan Khasoggi
mukan. Pembunuhan melibatkan tokoh-tokoh intelijen di sekeliling Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman.
Proses hokum dilakukan oleh pengadilan Saudi. Turki mendesak agar para pelaku diadili di Turki mengingat lokasi pembunuhan ada di Istanbul.
Sikap Turki ini dipandang elite Saudi sebagai tindakan permusuhan. Sebagai respon, tahun lalu, pengusaha Saudi mendukung boikot tidak resmi atas barang-barang Turki.
Boikot itu memangkas nilai perdagangan sebesar 98 persen.
Juru bicara Erdogan Ibrahim Kalin bulan lalu mengatakan Erdogan dan Raja Salman saling bertelepon pada April, dan suasananya sangat baik.
Menteri luar negeri kedua negara telah setuju untuk bertemu. Pembicaraan Selasa lalu terjadi sehari sebelum pertemuan antara pejabat Turki dan Mesir di Kairo.
Ini juga langkah terbaru dalam upaya Turki untuk memperbaiki hubungan dengan kekuatan Arab sekutu Amerika Serikat lainnya.
Turki mengatakan pada Maret pihaknya telah memulai pembicaraan dengan Mesir untuk mencoba meningkatkan hubungan yang runtuh setelah tentara Mesir menggulingkan Mohammad Moersi.
Moersi merupakan tokoh politik Ikhwanul Muslimin, kelompok terlarang di Mesir yang memperoleh dukungan terbuka Turki era Erdogan.
Moersi terpilih secara demokratis pada Pemilu 2013. Namun arah politik yang semakin ke kanan membuat militer Mesir turun tangan.
Moersi ditangkap dan ribuan tokoh Ikhwanul Muslimin dijebloskan ke tahanan. Sebagian dihukum mati. Moersi telah meninggal dunia beberapa waktu lalu akibat sakit di penjara.
Pemulihan hubungan Mesir dengan Qatar, setelah empat tahun blokade Teluk bersama dengan Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Bahrain, juga telah mendorong upaya normalisasi kawasan yang lebih luas.
Kairo tampaknya tidak memiliki tingkat antusiasme yang sama untuk pemulihan hubungan seperti Turki.
“Kata-kata saja tidak cukup, mereka harus diimbangi dengan perbuatan,” kata Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry Maret lalu.
“Ada banyak ketidakpercayaan yang dipicu delapan tahun permusuhan terbuka, sehingga Mesir merasa ragu-ragu,” kata Nael Shama.
Shama menulis buku tentang kebijakan luar negeri Mesir di bawah pemimpin yang digulingkan Mohamed Morsi dan Hosni Mubarak.(Tribunnews.com/Aljazeera.com/xna)