Beberapa pendukung pemerintah yang digulingkan pun telah berkoalisi dengan pemberontak yang memerangi militer selama beberapa dekade di daerah perbatasan.
Dibentuk seminggu yang lalu oleh Pemerintah Persatuan Nasional yang menentang para jenderal, sebuah kelompok yang disebut Pasukan Pertahanan Rakyat telah meminta dukungan dari kelompok-kelompok etnis bersenjata yang telah lama menganggap militer Mynamar sebagai musuh terbesar mereka.
Dipanggil untuk mempersenjatai diri sejak kudeta, pejuang mereka telah menyergap pasukan keamanan dan membunuh administrator yang ditunjuk junta.
Diketahui, pertempuran telah meningkat di beberapa daerah perbatasan sejak kudeta 1 Februari, dengan milisi etnis meningkatkan serangan, menduduki pos militer dan menjatuhkan helikopter militer.
Baca juga: Mantan Ratu Kecantikan Myanmar Ikut Angkat Senjata Lawan Junta Militer, Ungkap Siap Berkorban Nyawa
Lebih lanjut, krisis di Myanmar telah menewaskan 788 orang, lapor Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Reuters tidak dapat memverifikasi korban secara independen karena militer telah memberlakukan pembatasan pada media, layanan internet, dan siaran satelit.
Junta Bebaskan Reporter Asal Jepang dan Penjarakan Jurnalis Lokal
Jurnalis asal Myanmar yang melaporkan protes anti-pemerintah dipenjara selama tiga tahun atas tuduhan penghasutan, ungkap kantor berita wartawan tersebut.
Sementara itu, pihak berwenang mengumumkan seorang reporter asal Jepang yang telah dua kali ditangkap akan dibebaskan.
Dilansir Al Jazeera, Min Nyo, yang bekerja untuk Suara Demokratik Burma (DVB) di wilayah Bago Myanmar, ditangkap pada 3 Maret 2021 dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer dalam salah satu vonis pertama terhadap pekerja media sejak kudeta.
"DVB menuntut otoritas militer segera membebaskan Min Nyo, serta wartawan lain yang ditahan atau dihukum di sekitar Myanmar," katanya pada Kamis (13/5/2021).
"Dia dipukuli oleh polisi dan ditolak kunjungan keluarganya," katanya.
Baca juga: Sempat Ditahan Otoritas Myanmar, Wartawan Yuki Kitazumi Dijadwalkan Tiba di Jepang Malam Ini
Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, juga mengecam hukuman tersebut.
"Dunia tidak dapat terus duduk diam sementara mesin penindas junta memenjarakan kebenaran dan mereka yang mempertaruhkan segalanya untuk mengungkapkannya," tuturnya.