TRIBUNNEWS.COM - Direktur kelompok hak lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) Yuri Igarashi ingin pemerintah memenuhi janji mereka kepada rakyat Jepang, Rabu (9/6/2021).
Igarashi mengatakan, saat ini masih ada waktu untuk undang-undang yang diusulkan untuk disahkan sebelum sesi parlemen berakhir minggu depan.
"Kami ingin mereka memenuhi janji mereka kepada rakyat negara ini," kata Igarashi, mengutip janji Pemilu 2019 oleh Partai Demokrat Liberal (LDP) untuk mempromosikan pemahaman tentang masalah LGBTQ.
Di PBB, tambah Igarashi, Jepang telah mendukung resolusi anti-diskriminasi, sementara Perdana Menteri Yoshihide Suga baru-baru ini berbicara menentang prasangka dan diskriminasi.
Hal ini merupakan titik balik yang sebenarnya, kata Igarashi sebagaimana diwartakan Channel News Asia.
Baca juga: PM Jepang: November 2021 Semua Warga Telah Divaksinasi Total
Baca juga: Strategi Jitu New York Menarik Wisatawan Jepang Vaksinasi di Amerika Serikat
"Kami percaya ini adalah titik balik yang sebenarnya, dan saya ingin benar-benar menekankan pentingnya menetapkan undang-undang baru dalam sesi parlemen saat ini," ucap Igarashi.
Diketahui, Jepang telah melihat dukungan baru untuk undang-undang yang melindungi hak-hak minoritas seksual.
Jejak pendapat menunjukkan banyaknya dukungan yang berkembang untuk undang-undang ramah LGBTQ, terutama di kalangan pemuda.
Undang-undang anti-diskriminasi yang diusulkan Jepang telah dibahas selama bertahun-tahun, dan mendapatkan daya tarik setelah sekelompok pengacara mulai mengerjakannya pada tahun 2015.
Namun kini persetujuan dari RUU Anti-diskriminasi yang diusulkan telah dihalangi ketika anggota partai berkuasa yang konservatif membahas rinciannya.
Dalam satu debat pada Mei 2021 lalu, seorang anggota parlemen LDP marah dan mengatakan hubungan sesama jenis mengancam 'pelestarian spesies'.
Sementara itu, masalah pengesahan RUU Anti-diskriminasi telah menjadi sorotan internasional saat Olimpiade Tokyo 2020 ditunda karena virus corona, kata Gon Matsunaka, Kepala Pride House Tokyo, pusat komunitas yang diakui sebagai bagian dari program Olimpiade.
"Olimpiade Tokyo 2020 membangkitkan perhatian internasional yang besar tentang bagaimana negara ini akan menangani masalah LGBTQ," katanya kepada wartawan di Klub Koresponden Asing Jepang.
"Dengan memanfaatkan momentum besar ini, kami bertujuan untuk melakukan dua hal: pertama, menciptakan perubahan dalam industri olahraga Jepang, dan kedua, menciptakan perubahan dalam masyarakat itu sendiri," sambung Matsunaka.
Sementara Jepang memiliki beberapa perlindungan untuk minoritas seksual, 'negeri sakura' ini tetap menjadi satu-satunya negara Group of Seven (G7) yang tidak mengakui hubungan sesama jenis.
Baca juga: Sindir Aktivis, Gigi Hadid: Turut Bersuara atas LGBT, Kenapa Tidak dengan Palestina?
Baca juga: Dideportasi dari Indonesia, Kristen Gray Akui Tak Bersalah: Visa Tak Overstay, Saya Berkomentar LGBT
Sebagai informasi, G7 adalah sebuah klub informal demokrasi kaya yang terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat.
Kepala pemerintahan negara-negara anggota G7, serta perwakilan dari Uni Eropa, bertemu di KTT G7 tahunan.
Lebih lanjut, banyak pasangan sesama jenis di Jepang mengatakan mereka harus berjuang untuk menyewa apartemen bersama dan bahkan dilarang mengunjungi rumah sakit.
Selain itu, sangat sulit bagi tokoh olahraga LGBTQ di Jepang untuk jujur tentang seksualitas mereka, kata Fumino Sugiyama, mantan atlet yang tergabung dalam tim anggar putri nasional sebelum keluar sebagai pria transgender.
Atlet takut mereka akan mengecewakan penggemar dan keluarga mereka, atau bahwa mereka akan menghadapi diskriminasi dari asosiasi olahraga mereka yang dapat menghambat karir mereka, Sugiyama menjelaskan.
Di sisi lain Piagam Olimpiade menyatakan bahwa setiap individu harus memiliki kemungkinan untuk berlatih olahraga, tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)
Berita dari Jepang lainnya