TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Myanmar yang digulingkan militer, Aung San Suu Kyi akan menghadapi sidang di Pengadilan Naypyidaw pada Senin (14/6/2021).
Pemerintah militer atau Junta Myanmar melayangkan lima tuduhan kepada politisi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ini.
Dikutip dari Al Jazeera, lima tuduhan tersebut di antaranya, kepemilikan walkie-talkie secara ilegal, korupsi, pelanggaran Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial.
Serta pelanggaran pembatasan sosial guna pencegahan penularan virus corona (Covid-19), yang mana Aung San Suu Kyi dituduh berkampanye untuk pemilihan di tengah pandemi.
Pada usia 75 tahun, Aung San Suu Kyi terancam menghadapi hukuman yang dapat menempatkannya di penjara selama sisa hidupnya.
Baca juga: Kekerasan Myanmar Naik, PBB: Demokrasi Rapuh Berubah Jadi Bencana HAM, Warga Jadi Perisai Manusia
Selain itu, secara permanen dia akan tersingkir dari dunia politik yang sudah dikecimpunginya selama beberapa dekade.
Seorang analis politik dengan pengalaman puluhan tahun di Myanmar Richard Horsey mengatakan, tidak ada indikasi Junta membebaskan Aung San Suu Kyi.
Bahkan, Junta terlihat tidak mengizinkan Aung San Suu Kyi berkomunikasi dengan para pendukungnya, maupun dengan dunia luar.
"Kali ini, tidak ada indikasi bahwa rezim berencana untuk membebaskan Aung San Suu Kyi, mengizinkannya berkomunikasi dengan para pendukungnya, atau menggunakannya sebagai alat tawar-menawar dalam hubungannya dengan dunia luar," kata Richard Horsey.
Pemimpin Junta Min Aung Hlaing, lanjut Richard Horsey, tampaknya ingin memiliki kebebasan untuk membentuk pandangan politik yang sesuai keinginannya.
"Sebaliknya, Min Aung Hlaing ingin memiliki kebebasan untuk membentuk lanskap politik yang bebas dari pengaruhnya dan NLD," jelas Richard Horsey.
Sementara itu, sejarawan sekaligus penulis Hidden History of Burma Thant Myint-U berpendapat, masih terlalu dini untuk menyingkirkan Aung San Suu Kyi.
Menurut Thant Myint-U, Aung San Suu Kyi adalah tokoh politik paling populer di Myanmar, bahkan tidak ada yang bisa menyamainya.
"Masih terlalu dini untuk menghapusnya. Dia tidak diragukan lagi adalah tokoh politik paling populer di negara ini, bahkan tidak ada orang lain yang bisa menyamai," kata Thant Myint-U.