Ketiga negara tersebut memerlukan izin atau pemberitahuan terlebih dahulu sebelum kapal militer berlayar melalui wilayah tersebut, kata Angkatan Laut AS.
Baca juga: AS Tambahkan Lebih dari 10 Perusahaan China ke Daftar Hitam
Kasus di Paracels Senin (12/7) kemarin bertepatan dengan enam tahun keputusan Pengadilan Internasional bahwa China tidak memiliki klaim atas Laut China Selatan.
Pada 12 Juli 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda, menolak sembilan garis putus-putus China dan memutuskan bahwa Beijing tidak memiliki klaim bersejarah atas Laut China Selatan.
Pengadilan juga mengatakan China telah mengganggu hak penangkapan ikan tradisional Filipina di Scarborough Shoal dan melanggar hak kedaulatan Filipina dengan mengeksplorasi minyak dan gas di dekat Reed Bank.
China telah berulang kali mengatakan tidak menerima keputusan tersebut dan terus memperluas kehadirannya di Laut China Selatan selama lima tahun terakhir.
Dalam sebuah pernyataan tertulis pada hari Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kebebasan laut adalah kepentingan abadi semua negara.
Baca juga: China Rilis Kapal Perusak Terbaru Bertepatan dengan Perayaan 100 Tahun Partai Komunis
“Tidak ada tatanan maritim berbasis aturan di bawah ancaman yang lebih besar daripada di Laut China Selatan,” kata Blinken.
“Republik Rakyat China terus memaksa dan mengintimidasi negara-negara pesisir Asia Tenggara, mengancam kebebasan navigasi di jalur global yang kritis ini,” katanya.
ia juga mengulangi peringatan kepada China bahwa serangan terhadap angkatan bersenjata Filipina di Laut China Selatan akan memicu perjanjian pertahanan bersama AS-Filipina tahun 1951.
“Kami menyerukan RRC untuk mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional, menghentikan perilaku provokatifnya, dan mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan masyarakat internasional bahwa ia berkomitmen pada tatanan maritim berbasis aturan yang menghormati hak semua negara, besar dan kecil," tambahnya. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)