TRIBUNNEWS.COM, TUNIS — Presiden Tunisia Kais Saied telah menskorsing parlemen dan memecat Perdana Menteri Hicham Mechichi, setelah protes kekerasan melanda negara itu melumpuhkan banyak kota.
Presiden Kais Saied, dalam pidatonya melalui video hari Minggu (25/7) mengatakan bahwa dia akan mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan perdana menteri baru.
Kais Saied bertindak setelah protes keras pecah di beberapa kota Tunisia atas penanganan pemerintah terhadap pandemi COVID-19 dan ekonomi.
Protes terhadap kebrutalan polisi menyebar ke seluruh ibu kota Tunisia
Ini adalah tantangan terbesar bagi konstitusi 2014 yang membagi kekuasaan antara presiden, perdana menteri dan parlemen.
Baca juga: Menteri Kesehatan Tunisia Dicopot saat Kasus Covid-19 Melonjak
Baca juga: Tunisia Terima 93.600 Dosis Vaksin COVAX Pada Batch Pertama
"Banyak orang tertipu oleh kemunafikan, pengkhianatan dan perampokan hak-hak rakyat," katanya dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di media pemerintah.
"Saya memperingatkan siapa pun yang berpikir untuk menggunakan senjata dan siapa pun yang menembakkan peluru, angkatan bersenjata akan merespons dengan peluru," tambahnya.
Dia juga menangguhkan kekebalan anggota parlemen, bersikeras tindakannya sejalan dengan konstitusi.
Pernyataan itu menyusul pertemuan darurat di istananya setelah ribuan warga Tunisia berbaris di beberapa kota, dengan sebagian besar kemarahan terfokus pada partai Ennahdha, partai terbesar di parlemen.
Namun Ketua Parlemen Tunisia Rached Ghannouchi menuduh Presiden Saied melancarkan kudeta terhadap revolusi dan konstitusi setelah tindakan tersebut.
Baca juga: Tunisia akan Buka Kembali Masjid hingga Kafe 4 Juni 2020 setelah 3 Bulan Lockdown
Baca juga: Norwegia, China, dan Tunisia Sepakat Minta Israel dan Hamas untuk Segera Hentikan Konflik
"Kami menganggap lembaga-lembaga itu masih berdiri dan pendukung Ennahdha dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," kata Ghannouchi, yang mengepalai Ennahdha, kepada kantor berita Reuters melalui telepon, seperti dilansir dari Al Jazeera.
Partai itu juga mengecam langkah presiden sebagai kudeta negara terhadap revolusi.
"Apa yang dilakukan Kais Saied adalah kudeta negara terhadap revolusi dan konstitusi, dan anggota Ennahdha dan rakyat Tunisia akan membela revolusi," tulis Ennahdha dalam sebuah pernyataan di halaman Facebook-nya.
Saied terlibat dalam perselisihan politik dengan Perdana Menteri Mechichi selama lebih dari setahun, pada saat negara itu bergulat dengan krisis ekonomi, dan respons yang gagal terhadap pandemi Covid-19.
Saied dan parlemen terpilih dalam pemilihan umum yang terpisah pada 2019, sementara Mechichi menjabat tahun lalu, menggantikan pemerintahan berumur pendek lainnya.
Baca juga: Seorang Migran Tunisia Berusia 21 tahun Diiduga sebagai Pelaku Penyerangan Tiga Orang di Gereja Nice
Baca juga: Kapal Tenggelam di Lepas Pantai Tunisia, 41 Orang Dikabarkan Tewas
Wartawan yang berbasis di Tunis, Rabeb Aloui, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa langkah Saied tidak mengejutkan.
Dikatakan, Saied telah mengancam akan membubarkan parlemen dan memecat perdana menteri.
“Sejak September lalu kami (telah) hidup di bawah krisis politik,” kata Aloui.
Dia mengatakan banyak pemuda Tunisia, terutama mereka yang melakukan protes pada hari Minggu, telah menyatakan kegembiraannya atas pengumuman tersebut.
Namun para demonstran juga menyerukan reformasi sosial dan ekonomi, katanya, dan masalah-masalah itu masih perlu ditangani.
Baca juga: KBRI Tunis dan PCINU Gelar Webinar Untuk Mempererat Komunikasi Dengan Masyarakat
“Kami benar-benar hidup di bawah krisis ekonomi, dengan krisis kesehatan juga [dari] pandemi virus corona,” katanya.
Tunisia telah kewalahan oleh kasus Covid-19, dengan lebih dari 18.000 orang meninggal karena penyakit di negara berpenduduk sekitar 12 juta itu.
Ribuan protes
Ribuan orang telah menentang lockdown virus dan panas terik untuk berdemonstrasi sebelumnya pada hari Minggu di Tunis, ibu kota, dan kota-kota lain.
Kerumunan yang kebanyakan anak muda berteriak “Keluar!” dan slogan-slogan yang menyerukan pembubaran parlemen dan pemilihan umum dini.
Protes diserukan pada peringatan 64 tahun kemerdekaan Tunisia oleh sebuah kelompok baru yang disebut Gerakan 25 Juli.
Baca juga: Sudah Dibangun Sejak Abad ke-6, Masjid Tertua di Tunisia Ini Punya Arsitektur Unik
Keamanan ketat diberlakukan terutama di Tunis, di mana blokade polisi memblokir semua jalan menuju jalan utama ibu kota, Avenue Bourguiba.
Jalan itu adalah situs kunci bagi revolusi Tunisia 10 tahun lalu yang menjatuhkan pemerintahan diktator dan memicu pemberontakan Musim Semi Arab.
Polisi juga dikerahkan di sekitar parlemen, mencegah demonstran mengaksesnya.
Di Tunis pada hari Minggu, polisi menggunakan semprotan merica terhadap pengunjuk rasa yang melemparkan batu dan meneriakkan slogan-slogan menuntut Perdana Menteri Mechichi mundur dan parlemen dibubarkan.
Saksi mata mengatakan pengunjuk rasa menyerbu atau mencoba menyerbu kantor Ennahdha di Monastir, Sfax, El Kef dan Sousse, sementara di Tozeur mereka membakar markas lokal partai.
Ennahdha, yang dilarang sebelum revolusi, telah menjadi partai yang paling sukses secara konsisten sejak 2011 dan anggota pemerintahan koalisi berturut-turut. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)