TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia, Vladimir Putin, berharap Taliban akan berperilaku 'beradab' di Afghanistan sehingga komunitas global dapat mempertimbangkan hubungan diplomatik dengan Kabul.
"Rusia tidak tertarik dengan disintegrasi Afghanistan," kata Putin dikutip dari Al Jazeera.
Putin berbicara pada sesi pleno Forum Ekonomi Timur di kota Vladivostok, Rusia pada Jumat (3/9/2021) malam.
Ia berpendapat jika Taliban dapat menjadi kelompok yang ramah maka hal tersebut membuka peluang komunikasi dan pengaruh pada komunitas global.
Pemimpin Rusia itu mengatakan, penarikan Amerika Serikat (AS) pada Selasa (31/8/2021) memunculkan malapetaka.
"Orang Amerika sangat pragmatis," kata Putin.
"Mereka menghabiskan lebih dari 1,5 triliun dolar AS untuk perang selama 20 tahun, dan apa hasilnya?"
"Nol. Jika Anda melihat jumlah orang yang ditinggalkan di Afghanistan, yang bekerja untuk Barat, AS dan sekutunya, mereka adalah bencana kemanusiaan," lanjutnya.
Putin melanjutkan seruan dari AS untuk mengarahkan kembali negara itu melawan Rusia dan China setelah penarikan pasukan di Afghanistan.
"Cari tahu dahulu tentang mereka yang berperang dengan Anda selama 20 tahun," kata Putin.
"Kemudian, bicarakan tentang bagaimana menghadapi Rusia dan China," tambahnya.
Baca juga: Kepala WHO di Rusia; Kasus Covid-19 Di Negara Ini Turun 11 Persen dalam 2 Pekan
Baca juga: Taliban Bidik China dan Rusia sebagai Partner Investasi untuk Bangun Afghanistan Baru
Putin Berhati-hati Terhadap Hubungan dengan Taliban
Putin memiliki rekam jejak mengkritik negara-negara Barat karena mencoba memaksakan nilai-nilai mereka pada negara non-Barat.
Pemerintah Moskow secara teratur mengecam kebijakan AS di Afghanistan, yang sekarang dikendalikan oleh Taliban setelah pengambilalihan.
Perwakilan Rusia di Kabul bertemu perwakilan Taliban beberapa hari yang lalu setelah AS pergi dan menyatakan Moskow akan mempertahankan hubungan dengan Afghanistan.
Putin menerangkan Rusia tidak akan ikut campur atas Afghanistan.
Ia telah belajar dari pendudukan Soviet di Afghanistan pada 1979-1989 silam.
Presiden Rusia tersebut menyatakan sikap kehati-hatian untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri di Afghanistan, termasuk kepemimpinan baru di Kabul.
Rusia masih mencatat Taliban sebagai organisasi "teroris" di negaranya.
Baru-baru ini, Rusia mengevakuasi warganya yang masih berada di Afghanistan karena situasi yang kian memburuk.
Ia juga mengevakuasi warga yang berada di negara bekas Soviet untuk menjamin keamanan.
Moskow memperingatkan tentang kelompok-kelompok ekstremis yang menggunakan kekacauan politik untuk memasuki negara-negara tetangga sebagai pengungsi.
Putin secara khusus telah mengeluh tentang negara Barat lain yang mencoba mengalihkan pengungsi Afghanistan di negara-negara Asia Tengah.
Ia khawatir penyebaran paham Islam radikal sampai ke negara-negara lain yang menjalin hubungan dengan Rusia.
Sebagai informasi tambahan, Afghanistan berbagi perbatasan dengan tiga negara bekas Soviet di Asia Tengah di mana Rusia memegang pangkalan militer.
Ketiga negara tersebut adalah Kazakhtan, Kirgistan, dan Tajikistan.
Rencana Rusia Bersama China dan Taliban
Taliban bermaksud menggandeng dua negara komunis, Rusia dan China, sebagai rekan kerjasama hubungan diplomatik terutama pada sektor ekonomi.
Dikutip dari foreignpolicy.com, seorang diplomat senior China, Geng Shuang, mengatakan sudah waktunya untuk membawa Taliban ke pangkuan internasional pada sesi pidato di Dewan Keamanan PBB.
Ia juga menyampaikan dalam pidatonya mengenai pertanggungjawaban AS dan pasukan Barat lainnya atas kejahatan di Afghanistan.
Rusia juga mempermasalahkan upaya evakuasi yang dipimpin AS.
Mereka mencatat bagaimana "penguras otak" para profesional Afghanistan mengancam untuk membahayakan upaya negara itu untuk menjalankan pemerintahan dan mengejar tujuan pembangunan negara.
“Masyarakat internasional harus memberi Afghanistan bantuan yang sangat dibutuhkan untuk ekonomi," kata Geng Shuang.
"Mereka butuh pekerjaan, dan makanan," lanjutnya.
Ia juga menjelaskan kebutuhan lain terkait menjaga ketertiban dan stabilitas publik hingga jalur rekonstruksi damai sesegera mungkin.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lainnya terkait Rusia