Kali ini, para pejuang yang membawa senjata tidak kebut-kebutan di jalanan kota dengan mobil pikap mereka.
Sebaliknya, mereka berjalan melewati lalu lintas yang kacau dan macet di kota berpenduduk lebih dari 5 juta orang itu.
Di Kabul yang dikuasai Taliban pada 1990-an, tukang cukur dilarang.
Sekarang pejuang Taliban bisa mendapat potongan rambut terbaru, meskipun janggut mereka tetap tidak tersentuh.
Tetapi Taliban mulai mengeluarkan peraturan keras untuk perempuan, seperti melarang olahraga bagi wanita.
Mereka juga menggunakan kekerasan untuk menghentikan perempuan yang menuntut persamaan hak saat melakukan protes.
Pada Sabtu lalu, Taliban dilaporkan mengatur pawai yang diikuti perempuan.
Puluhan wanita yang mengenakan pakaian tertutup memenuhi auditorium di pusat pendidikan Universitas Kabul.
Para pembicara membacakan naskah pidato yang merayakan kemenangan Taliban atas negara Barat yang mereka tuduh anti-Islam.
Para wanita itu berbaris di luar halaman, melambaikan plakat yang bertuliskan "Perempuan yang pergi tidak mewakili kami" mengacu pada ribuan orang yang melarikan diri karena takut akan tindakan keras Taliban terhadap hak-hak perempuan.
Baca juga: AS Tinggalkan Afghanistan Fokus ke China, Apa Dampaknya Bagi Indonesia?
Baca juga: Taliban Larang Wanita Afghanistan Geluti Bidang Olahraga, Alasannya Wajah dan Tubuh Bisa Tersingkap
Di luar aula, direktur pendidikan tinggi Taliban, Maulvi Mohammad Daoud Haqqani mengatakan 9/11 adalah hari "dunia memulai propaganda mereka melawan kami yang menyebut kami teroris dan menyalahkan kami" atas serangan di Amerika Serikat.
Seorang aktivis masyarakat sipil di Afghanistan, Atta Zakiri juga menilai bahwa keputusan AS menginvasi Afghanistan pasca 9/11 adalah kesalahan.
Menurutnya, invasi itu justru menciptakan generasi pejuang Taliban garis keras lainnya.
"Taliban seharusnya diizinkan untuk tinggal. Mengapa kita tidak bekerja dengan mereka? Sebaliknya mereka pergi untuk bertarung," katanya.
"Dan sekarang kami kembali ke tempat kami berada 20 tahun yang lalu," tambahnya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)