News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Permintaan Suntik Mati Wanita Kolombia Dibatalkan, Sang Anak: Kami Siap Perjuangkan Martabatnya

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Miftah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Martha Sepúlveda. Pembatalan yang mendadak dari otoritas Kolombia terhadap permintaan suntik mati Martha Sepulveda (51) menuai kontroversi.

TRIBUNNEWS.COM - Pembatalan yang mendadak dari otoritas Kolombia terhadap permintaan suntik mati Martha Sepúlveda (51) menuai kontroversi.

Pihak kuasa hukum serta keluarga Sepulveda kini memperjuangkan agar keinginan euthanasia Martha dikabulkan.

Martha Sepúlveda, yang menderita amyotrophic lateral sclerosis, penyakit degeneratif yang tak bisa disembuhkan, seharusnya meninggal hari Minggu (10/10/2021) dengan prosedur euthanasia.

Tetapi pejabat kesehatan tiba-tiba menangguhkan prosedur itu dengan alasan kesehatannya membaik.

Meskipun ALS secara progresif dapat melumpuhkan tubuh hingga penderitanya meninggal, prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun dan Sepúlveda tidak dianggap menderita sakit parah.

"Kami tidak tahu mengapa mereka mengevaluasi kebijakan itu dengan kriteria tertentu pada Agustus dan dengan kriteria yang lain pada Oktober," protes pengacara Sepúlveda, Camila Jaramillo, Senin (11/20/2021), dilansir France24.

Baca juga: Keinginan Wanita Kolombia untuk Disuntik Mati Dibatalkan Otoritas Kesehatan

Baca juga: Cerita Wanita Kolombia yang akan Disuntik Mati: Mengaku Tenang dan Lebih Banyak Tertawa

Jaramillo mengumumkan gugatan atas "perlakuan kejam dan merendahkan" dan atas pelanggaran hak kliennya untuk mati dengan cara bermartabat.

"Meskipun situasi ini membawa ibu saya kembali ke keadaan putus asa dan kesedihan sebelumnya... kami siap untuk memperjuangkan martabatnya," ujar putranya Federico Redondo di hadapan para wartawan.

Diberitakan sebelumnya, beberapa hari sebelum tanggal euthanasia yang ditetapkan, Martha diwawancarai televisi lokal Noticias Caracol.

Ia bercerita bagaimana hari-harinya merasa lebih tenang dan damai menjelang euthanasia.

"Dalam keadaan saya ini, hal terbaik yang bisa terjadi pada saya adalah beristirahat," katanya.

Kolombia adalah negara pertama di Amerika Latin yang mendekriminalisasi euthanasia sejak tahun 1997.

Kolombia juga merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang prosedur euthanasia-nya dianggap legal.

Namun, hingga tahun ini, euthanasia hanya diperbolehkan pada pasien dengan penyakit terminal, yaitu pasien dengan harapan hidup 5-6 bulan.

Pada 22 Juli 2021, Mahkamah Konstitusi Kolombia memperluas hak, mengizinkan prosedur euthanasia asalkan pasien menderita penderitaan fisik atau mental yang intens akibat cedera tubuh atau penyakit serius dan tidak dapat disembuhkan, menurut badan EFE.

Setelah mendengar keputusan itu, empat hari kemudian, Martha mengajukan izin euthanasia.

Permintaannya dikabulkan pada 6 Agustus 2021.

"Saya lebih tenang sejak prosedur itu disahkan. Saya lebih banyak tertawa, saya tidur lebih tenang," katanya.

Martha Sepúlveda Campo. (Caracol via Noticias Telemundo)

Martha telah mendapat dukungan sebagian besar keluarganya.

11 saudara kandungnya setuju dengan prosedur tersebut.

Putranya selalu berada di sisinya di hari-hari terakhirnya.

"Saya membutuhkan ibu saya, saya ingin dia bersama saya, hampir dalam kondisi apa pun, tetapi saya tahu bahwa dalam kata-katanya, dia tidak lagi hidup, dia hanya bertahan," kata Federico Redondo Sepúlveda kepada Noticias Caracol.

Namun, tidak semua orang dalam keluarga setuju, terutama karena alasan agama.

"Soal ibu saya, masalahnya menjadi lebih sulit," kata Martha.

"Tetapi saya pikir jauh di lubuk hatinya dia juga memahaminya."

Keputusannya juga menjalani euthanasia menuai kritik keras, apalagi di negara dengan mayoritas penganut Katolik Roma dan di mana gereja masih menyebut eutanasia sebagai "pelanggaran serius."

Konferensi Waligereja Kolombia bahkan kritik setelah keputusan pengadilan pada bulan Juli.

Monsignor Francisco Antonio Ceballos Escobar mengatakan bahwa euthanasia adalah "pembunuhan yang sangat bertentangan dengan martabat pribadi manusia dan rasa hormat ilahi dari penciptanya."

Ia juga menyebut sebaiknya negara merawat orang sakit daripada memfasilitasi prosedur euthanasia, outlet berita lokal melaporkan.

Martha sebenarnya menyadari hal itu.

Ia juga telah mendiskusikannya dengan para pendetanya.

"Saya tahu bahwa pemilik kehidupan adalah Tuhan, ya. Tidak ada yang bergerak tanpa kehendaknya," katanya.

Namun, dia juga berpikir Tuhan mengizinkan tindakannya.

Ketika ditanya tentang mereka yang berpikir dia seharusnya berjuang untuk hidup dan bukannya meminta kematian, Martha mengatakan dia juga sudah melalui perjuangan.

"Saya akan menjadi pengecut, tetapi saya tidak ingin menderita lagi," katanya.

"Untuk berjuang? Saya berjuang untuk beristirahat."

Camila Jaramillo Salazar, seorang pengacara untuk keluarga Sepúlveda, mengatakan keputusan Martha telah mendapatkan banyak dukungan dari Kolombia, meskipun ada kritik dari gereja Katolik.

Menurut valoraanalitik.com, lebih dari 72 persen dari mereka yang disurvei oleh jajak pendapat terbaru Invamer di Kolombia mengatakan mereka setuju dengan euthanasia.

Persentase yang lebih tinggi bahkan terlihat di kota-kota terbesar di negara itu.

"Mungkin Kolombia bisa menjadi negara terkemuka dalam hal kemajuan kematian yang bermartabat," kata pengacara itu kepada Noticias Caracol.

Eutanasia didekriminalisasikan pada tahun 1997 dalam kasus penyakit parah atau mematikan, yaitu ketika pasien menderita banyak rasa sakit.

Pasien dapat memintanya secara sukarela dan dilakukan oleh dokter.

Namun, pemerintah belum memberikan aturan yang mengizinkan prosedur itu hingga 20 April 2015.

Sejak itu, hanya 157 prosedur yang telah dilakukan di negara tersebut, menurut data dari Kementerian Kesehatan.

Untuk setiap lima permintaan euthanasia, dua diotorisasi, kata DescLAB, Laboratorium Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Pasien euthanasia pertama di negara itu adalah Ovidio González Correa.

Ovidio merupakan seorang pria berusia 79 tahun dengan wajah cacat oleh tumor.

Ia kemudian menjadi simbol perjuangan untuk hak euthanasia.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini