News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mengaku Ditargetkan untuk Dibunuh, Eks Intel Arab Saudi Sebut Pangeran MBS Tak Punya Empati

Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto diambil pada 28 Juni 2019, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menghadiri pertemuan pada KTT G20 di Osaka.

TRIBUNNEWS.COM - Seorang mantan pejabat tinggi intelijen Saudi, Saad al-Jabri menuduh Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman (MBS) tidak punya empati dan merupakan ancaman.

Dia juga membuat permohonan publik kepada pemerintahan AS untuk membebaskan anak-anaknya yang dipenjara di Arab Saudi.

Dilansir Reuters, Jabri saat ini tinggal di pengasingan karena mengaku nyawanya menjadi target dari Putra Mahkota Saudi, Muhammad bin Salman (MBS). 

Saad al-Jabri sebelumnya menjabat sebagai ajudan Pangeran Mohammed bin Nayef, yang digulingkan Pangeran MBS sebagai pewaris takhta dalam kudeta istana pada 2017.

MBS sekarang menjadi penguasa de facto Arab Saudi.

Baca juga: Kemenag: Sistem Umrah Satu Pintu untuk Bangun Kepercayaan Arab Saudi

Baca juga: Saudi-Iran Gelar Negosiasi Rahasia, Pangeran MBS Ingin Bersahabat dengan Teheran

Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman bin Abdulaziz al-Saud. (The Guardian/AFP/Getty Images/Fayez Nureldine) ((The Guardian/AFP/Getty Images/Fayez Nureldine))

Pada Agustus 2019, Jabri yang kini tinggal di Kanada, mengajukan gugatan di pengadilan AS yang menyeret nama Pangeran MBS.

Dalam gugatan tersebut, putra mahkota Saudi itu dikatakan mengirim Tiger Squad untuk membunuhnya pada Oktober 2018.

Namun rencana itu gagal karena agen perbatasan Kanada tidak mengizinkan mereka masuk.

Diketahui laporan pembunuhan berencana kepada Jabri terjadi beberapa hari setelah pembunuhan Jamal Khashoggi.

Kemudian tahun lalu, pengadilan Saudi memenjarakan dua anak Saad al-Jabri karena dituduh melakukan pencucian uang dan konspirasi untuk melarikan diri dari negara secara ilegal.

Jabri dalam wawancara pertamanya sejak meninggalkan Kerajaan Arab Saudi mengatakan, Pangeran MBS "tidak punya empati".

Menurutnya, MBS merupakan ancaman bagi rakyat Arab Saudi, Amerika, dan seluruh dunia.

"Saya harus angkat bicara."

"Saya memohon kepada rakyat Amerika dan pemerintah Amerika untuk membantu saya membebaskan anak-anak itu dan memulihkan hidup mereka," kata Jabri dalam acara 60 Minutes CBS, dikutip dari Reuters, Senin (25/10/2021).

Kedutaan Arab Saudi di Washington tidak segera menanggapi hal ini.

Sementara itu, pengacara putra mahkota menyangkal tuduhan Jabri dan mengatakan MBS memiliki kekebalan hukum di Amerika Serikat sebagai kepala negara asing.

Jabri bertahun-tahun mengabdi menjadi ajudan terdekat Pangeran Nayef di Kementerian Dalam Negeri.

Dia bahkan membantu merombak operasi intelijen dan kontraterorisme kerajaan.

Sebelumnya, pada Januari lalu, kelompok perusahaan negara Saudi menuduh Jabri menggelapkan dana negara sejumlah miliaran dolar saat bekerja di Kementerian Dalam Negeri.

Jabri membantah tuduhan itu.

"Saya kira saya akan dibunuh suatu hari karena orang ini (MBS) tidak akan beristirahat sampai dia melihat saya mati," ujarnya.

Pangeran Muhammad bin Salman, disebut sempat memberi tawaran terakhir kepada Jamal Khashoggi, beberapa menit sebelum Khashoggi tewas. (montase foto Tribunnews.com (Sumber foto : Al Arabiya))

Baca juga: Kemenag: Sistem Umrah Satu Pintu untuk Bangun Kepercayaan Arab Saudi

Baca juga: Raja Salman Perintahkan Arab Saudi Bantu Pasokan Medis untuk Malaysia

Saad bin Khalid Al Jabri adalah jenderal sekaligus mantan kepala intelijen Arab Saudi yang diburu pemerintahan Mohammad bin Salman (MBS) sejak September 2017 karena dugaan korupsi.

Pada Juli 2018, Jabri berhasil mengajukan petisi agar namanya dihapus dari sistem Interpol karena kurangnya jaminan HAM dan proses hukum dalam kasus korupsi itu.

Sebelumnya, Jabri meninggalkan Arab Saudi pada 17 Mei 2017.

Dia menetap di luar negeri setelah penggulingan Muhammad bin Nayef sebagai Putra Mahkota pada bulan berikutnya dan kemudian berlindung di Kanada.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini