Ayahnya seorang guru yang disegani di desanya di Pemalang, Jawa Tengah. Baik Bedjo maupun ayahnya tidak pernah menjadi anggota PKI. Namun, ayahnya dipenjara selama 11 tahun.
Bedjo kemudian ditangkap dan dipenjarakan sebagai tahanan politik selama sembilan tahun oleh rezim Suharto.
Selama waktu ini, dia disiksa, disetrum dan dipukuli, dan dipaksa bekerja di perkebunan.
Dia menyalahkan pembunuhan massal pada kekuatan kerajaan Inggris dalam mendukung Suharto untuk kepentingan mereka sendiri:
“Saya mendesak Inggris, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara lain yang mengambil keuntungan dari pembunuhan massal orang Indonesia yang tidak bersalah, anggota Partai Komunis Indonesia dan pengikut Sukarno, untuk mengakui tanggung jawab,” katanya.
Ayah Soe Tjen juga disiksa dan dipenjarakan selama dua setengah tahun karena militer mencurigainya sebagai anggota PKI.
Soe Tjen (50), dosen di Soas University of London, mengatakan ayahnya akan dilantik sebagai salah satu pengurus PKI cabang Surabaya.
Tetapi kekacauan setelah kudeta yang gagal membuat pemberitahuan pengangkatannya tidak sampai ke kantor pusat partai di Jakarta.
“Itulah sebabnya ayah saya tidak dieksekusi. Militer tidak tahu siapa dia,” katanya. Dia juga meminta Inggris untuk meminta maaf.
“Dampaknya masih besar pada para penyintas serta anggota keluarga mereka,” katanya.
South China Morning Post Kamis lalu merilis laporan yang menyebut, “Pembunuhan (65/66) itu meninggalkan bekas luka yang dalam pada jiwa Indonesia yang tersisa hingga hari ini.”
Pemerintah Inggris selalu membantah terlibat, tetapi dokumen yang dideklasifikasi menceritakan kisah yang berbeda.
Pada tahun 2020, Raja Belanda Willem-Alexander meminta maaf atas “kekerasan berlebihan” yang dilakukan di Indonesia selama pemerintahan kolonial negaranya, yang berakhir pada tahun 1949.(Tribunnews.com/Guardian/xna)