Amerika Serikat dan Jepang adalah satu-satunya negara demokrasi industri yang masih menerapkan hukuman mati, dan kelompok hak asasi manusia seperti Amnesty International telah menuntut perubahan selama beberapa dekade.
Ueda mengatakan, tidak ada undang-undang yang mengamanatkan bahwa narapidana hanya dapat diberitahu tentang eksekusi mereka beberapa jam sebelum itu terjadi.
Menurutnya, praktik ini sebenarnya bertentangan dengan hukum pidana Jepang.
"Pemerintah pusat telah mengatakan ini dimaksudkan untuk menjaga tahanan dari penderitaan sebelum eksekusi mereka, tapi itu bukan penjelasan dan masalah besar, dan kita benar-benar perlu melihat bagaimana mereka menanggapi gugatan itu," tambahnya.
"Di luar negeri, para tahanan diberikan waktu untuk merenungkan akhir hidup mereka dan mempersiapkan mental. Seolah-olah Jepang berusaha sekeras mungkin untuk tidak memberi tahu siapa pun."
Baca juga: Rencana Jaksa Agung Beri Hukuman Mati bagi Koruptor, Pengamat: Lebih Tepat Pelaku Dimiskinkan
Baca juga: Jaksa Agung ST Burhanuddin Diminta Waspadai Serangan Balik Koruptor dan Kaki Tangannya
Saat ini ada 112 narapidana yang dijatuhi hukuman mati di Jepang, kata Kementerian Kehakiman.
Namun belum ada yang dieksekusi selama hampir dua tahun.
Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar publik mendukung hukuman mati, yang biasanya dikenakan kepada pelaku pembunuhan.
Ueda berharap gugatan itu bisa memicu diskusi di Jepang tentang masalah ini, meskipun ini bukan tujuan utamanya.
"Sistem ini sangat keliru - dan kami ingin publik mengalihkan pandangan mereka ke masalah ini," tambahnya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)