TRIBUNNEWS.COM - Insiden di festival musik Houston, Jumat (5/11/2021), menambah daftar panjang orang-orang yang tewas di tengah kerumunan acara besar.
Tragedi kerumunan seperti yang terjadi di konser yang digelar oleh Travis Scott itu bukanlah yang pertama kali terjadi.
Dilansir South China Morning Post, pada tahun 1979, 11 orang tewas saat berebut memasuki konser di Cincinnati, Ohio, oleh The Who.
Di stadion sepak bola Hillsborough di Inggris, desakan manusia pada tahun 1989 menyebabkan hampir 100 orang meninggal.
Kemudian, pada 2015, tabrakan dua jemaah haji di Arab Saudi menyebabkan lebih dari 2.400 kematian, berdasarkan hitungan laporan media dan komentar pejabat.
Baca juga: FAKTA-FAKTA Konser Rapper Travis Scott Tewaskan 8 Orang, Lebih dari 50.000 Orang Berkumpul
Baca juga: Konser Travis Scott Ricuh, 8 Orang Tewas dan Puluhan Terluka
Para ahli mengatakan mereka melihat ciri-ciri umum bagaimana tragedi fatal tersebut bisa terjadi.
Bagaimana Orang Bisa Tewas di Kerumunan?
Korban seringkali terjepit begitu keras, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan oksigen, bukan karena mereka diinjak-injak.
Saat kerumunan melonjak, gayanya bisa cukup kuat untuk membengkokkan baja.
Tekanan juga dapat mengenai orang dari dua arah, satu dari belakang kerumunan yang mendorong ke depan dan satu lagi dari depan kerumunan yang mencoba melarikan diri.
Jika beberapa orang jatuh, tekanan bahkan bisa datang dari atas.
Penyelidikan Inggris dalam tragedi Hillsborough menemukan bahwa sesak napas terdaftar sebagai penyebab utama di sebagian besar kematian.
Kematian terjadi saat lebih dari 50.000 penggemar memadati stadion untuk menyaksikan pertandingan sepak bola di hari yang cerah dan hangat.
Beberapa dari mereka masuk ke dalam terowongan dan ditekan begitu keras ke pagar pembatas, penyelidikan menemukan.
"Korban yang selamat menyebut mengalami dekompresi, tidak dapat bergerak, kepala terkunci di antara lengan dan bahu, wajah terengah-engah dan panik," kata laporan itu.
"Mereka sadar bahwa orang-orang sekarat dan mereka tidak berdaya untuk menyelamatkan diri."
Apa yang Menyebabkan Ledakan Massa?
G Keith Still, profesor ilmu kerumunan di University of Suffolk di Inggris, menjelaskan bagaimana ledakan massa bisa terjadi.
Still kerap bersaksi sebagai saksi ahli di persidangan kasus yang melibatkan orang banyak.
"Penelitian saya mencakup lebih dari 100 tahun bencana, dan selalu semuanya memiliki karakteristik yang sangat mirip," ujarnya.
Pertama adalah desain acara, termasuk memastikan kepadatan kerumunan tidak melebihi pedoman keselamatan.
Desain acara termasuk ruang yang cukup untuk semua orang dan celah yang cukup besar bagi orang untuk bergerak.
Beberapa venue akan mengambil tindakan pencegahan ketika mereka tahu kerumunan berenergi tinggi akan datang ke suatu acara.
Kepadatan kerumunan mungkin merupakan faktor terpenting dalam lonjakan mematikan.
Tetapi, biasanya membutuhkan "pemicu" untuk membuat semua orang bergegas ke arah yang sama.
Hujan deras atau hujan es yang tiba-tiba dapat membuat semua orang berlarian mencari perlindungan, seperti yang terjadi ketika 93 penggemar sepak bola di Nepal tewas saat menyerbu pintu keluar stadion yang terkunci pada tahun 1988.
Atau, dalam contoh yang Still katakan jauh lebih umum di Amerika Serikat daripada negara lain, seseorang berteriak, "Dia punya pistol!"
Gelombang massa tidak selalu terjadi karena orang melarikan diri dari sesuatu.
Terkadang juga disebabkan oleh kerumunan yang bergerak menuju sesuatu, seperti artis yang tampil di atas panggung.
Sistem manajemen kerumunan yang buruk, di mana penyelenggara acara tidak memiliki prosedur yang kuat untuk melaporkan adanya insiden atau peringatan, menjadi satu alasan lain mengapa ledakan massa mematikan bisa terjadi.
Bagaimana Pandemi Mengubah Banyak Hal?
Steve Allen dari Crowd Safety, konsultan yang berbasis di Inggris yang terlibat dalam acara-acara besar di seluruh dunia, mengatakan selalu penting untuk memantau kerumunan, terutama sekarang karena acara-acara meningkat pasca lockdown akibat pandemi.
Allen merekomendasikan bahwa setiap acara harus melatih "pengintai kerumunan" dengan headset peredam bising untuk berkomunikasi langsung dengan seseorang di dekat performer, yang bersedia menghentikan sementara acara jika terjadi situasi yang mengancam seperti lonjakan massa, runtuhnya bangunan atau kebakaran.
Allen mengatakan dia secara pribadi telah menghentikan sekitar 25 pertunjukan artis, di antaranya Oasis, Red Hot Chili Peppers dan Eminem.
Para profesional tidak menggunakan kata-kata "injak-injak" atau "panik" untuk menggambarkan skenario seperti itu karena hal itu dapat menyalahkan orang-orang di kerumunan.
Sebaliknya, mereka lebih sering menyalahkan penyelenggara acara yang gagal menyediakan lingkungan yang aman bagi penonton.
"Keselamatan tidak ada untungnya," kata Still.
"Jadi keselamatan cenderung menjadi hal terakhir dalam anggaran."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)