TRIBUNNEWS.COM - Seorang jurnalis asal Amerika Serikat (AS) yang ditahan di Myanmar selama lebih dari lima bulan, Denny Fenster, kini menghadapi dua dakwaan baru.
Fenster didakwa melanggar Undang-Undang Kontra-Terorisme, yang diubah pada Agustus oleh pemerintah militer atau junta Myanmar.
Pengacaranya, Than Zaw Aung, mengatakan Fenster dituduh bertanggung jawab langsung atas tindakan terorisme.
Fenster dapat dihukum penjara selama 10 tahun atau seumur hidup jika terbukti melanggar pasal tersebut.
Dikutip dari AP News, sebelumnya junta mengatakan bahwa pihaknya akan menerapkan Undang-Undang Kontra-Terorisme dengan keras dalam kasus-kasus yang melibatkan organisasi oposisi yang mereka anggap teroris.
Baca juga: Pengadilan Junta Myanmar akan Jatuhkan Vonis kepada Pemimpin yang Dikudeta Suu Kyi Bulan Depan
Bagian lain dari undang-undang tersebut dapat diterapkan pada jurnalis yang menulis tentang organisasi teroris.
Organisasi teroris yang dimaksud yakni kelompok oposisi utama, seperti Pemerintah Persatuan Nasional, yang menganggap dirinya sebagai badan administratif negara yang sah, tetapi dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh junta pada bulan Mei.
Sementara itu, dakwaan baru lainnya yang dihadapi Fenster yaitu tuduhan pelanggaran Bagian 124(A) KUHP karena dianggap telah melakukan pengkhianatan.
Dia dapat dijatuhi hukuman penjara selama tujuh hingga 20 tahun jika terbukti melanggar pasal tersebut.
Untuk diketahui, Fenster ditahan di Bandara Internasional Yangon pada 24 Mei saat dia hendak naik pesawat untuk pergi ke daerah Detroit di Amerika Serikat untuk menemui keluarganya.
Baca juga: Dua Sekutu Aung San Suu Kyi Dijatuhi Hukuman Penjara 90 dan 75 Tahun
Dia adalah redaktur pelaksana Frontier Myanmar, sebuah majalah berita online yang berbasis di Yangon, kota terbesar Myanmar.
Sebelumnya, dia telah menghadapai tiga dakwaan dan bisa dipenjara 11 tahun jika terbukti bersalah.
Adapun tiga dakwaan tersebut yakni, dia dituduh melakukan penghasutan karena diduga menyebarkan informasi palsu.
Sebuah pelanggaran yang dapat membuatnya dihukum hingga tiga tahun penjara.
Dia juga didakwa melanggar Undang-Undang Asosiasi yang Melanggar Hukum karena menghubungi kelompok oposisi yang dinyatakan ilegal oleh junta.
Pelanggar aturan tersebut dapat terancam hukuman dua hingga tiga tahun penjara.
Kemudian, dia dituduh melanggar persyaratan visa yang ditambahkan awal bulan ini, sebuah pelanggaran yang dapat membuatnya dihukum enam bulan hingga lima tahun penjara.
Persidangan Fenster dilaksanakan tertutup untuk pers dan publik, dan rinciannya hanya disampaikan oleh pengacaranya.
Tiga dakwaan awal Fenster sedang disidangkan di pengadilan Yangon yang berbeda dari tempat dakwaan baru diajukan.
Persidangan Fenster memang telah berjalan, tetapi masih belum jelas apa sebenarnya yang dituduhkan kepadanya.
Baca juga: Pasukan Anti Militer Tembak Mati Eksekutif Mytel, Hampir Setiap Hari Bunuh Pejabat Junta Myanmar
Hakim dalam kasus tersebut memutuskan pada hari Senin bahwa jaksa telah memberikan cukup bukti untuk melanjutkan persidangan.
Sejauh ini, penuntut tampaknya berusaha menghubungkan Fenster dengan pelanggaran yang belum ditentukan yang diduga dilakukan oleh mantan bosnya.
Saksi penuntut baru-baru ini mengatakan Kementerian Informasi memiliki catatan bahwa Fenster masih bekerja untuk layanan berita online Myanmar Now ketika dia ditangkap.
Namun menurut Myanmar Now dan tempatnya bekerja saat ini, rontier Myanmar, dia berhenti dari pekerjaan sebelumnya pada Juli tahun lalu dan bergabung dengan perusahaan terakhir sebulan setelah itu.
Than Zaw Aung, mengatakan pada hari Selasa bahwa dia telah menyerahkan dokumen dan bukti lain ke pengadilan untuk membuktikan Fenster adalah anggota staf Frontier Myanmar.
Baca juga: Biden dan Jokowi Desak Militer Myanmar Bebaskan Tahanan Politik
Dia mengatakan Fenster, seorang karyawan Frontier Myanmar dan dua saksi pembela lainnya memberikan saksi demikian pada hari Selasa.
Lebih lanjut, militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari, menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Militer telah berulang kali menggunakan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa tetapi tidak mampu memadamkan perlawanan rakyat terhadap pengambilalihan.
Lebih dari 1.200 warga sipil diperkirakan tewas dan terjadi penangkapan yang meluas.
Baca juga artikel lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)