TRIBUNNEWS.COM - Ribuan warga Thailand melakukan demo akbar menuntut reformasi monarki.
Mereka menentang putusan pengadilan yang menyatakan tuntutan ini merupakan upaya untuk menggulingkan institusi kerajaan.
Protes ini dimulai sejak tahun lalu, di mana para pemuda menyerukan pencopotan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha (66).
Dilaporkan Reuters, pada Minggu (14/11/2021), para pengunjuk rasa berbaris melawan barikade polisi anti huru hara.
Mereka membawa plakat bertuliskan "Tidak ada monarki absolut" dan "Reformasi bukan penghapusan".
Baca juga: Berita Foto : Demonstrasi Reformasi Monarki di Thailand Berlanjut
Baca juga: Pengunjuk Rasa Thailand Kembali Serukan Reformasi Kerajaan, 1 Demonstran Tertembak Peluru Karet
"Kekuasaan raja yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir menarik Thailand menjauh dari demokrasi dan kembali ke monarki absolut," kata seorang demonstran dalam pernyataan yang dibacakan di depan Kedutaan Jerman di Bangkok.
"Ini adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa negara ini harus diperintah oleh sistem di mana setiap orang setara," lanjutnya.
Seperti pada Oktober tahun lalu, pengunjuk rasa kali ini juga melakukan aksi di depan Kedutaan Jerman.
Saat itu massa mendesak Jerman untuk menyelidiki apakah Raja Maha Vajiralongkorn melakukan urusan negara dari sana.
Diketahui Raja Vajiralongkorn gemar menghabiskan waktu di Jerman dan bahkan dikabarkan memiliki rumah pribadi di sana.
"Kata 'reformasi' tidak setara dengan penghapusan," kata pengunjuk rasa, Peeyawith Ploysuwan (25).
"Anda (pihak berwenang) hanya ingin melakukan hal-hal yang Anda inginkan dan melihat orang-orang dengan pandangan yang berlawanan sebagai orang jahat. Jika masyarakat terus seperti ini, bagaimana kita bisa bergerak maju?" ujarnya.
Aksi unjuk rasa menuntut monarki secara tidak langsung mendobrak hal yang tabu di Thailand.
Diketahui di bawah undang-undang lese majeste, orang yang mencemarkan nama baik monarki terancam hukuman penjara hingga 15 tahun.