TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah perawat Myanmar menjalankan klinik darurat rahasia untuk merawat pasien Covid-19 dan warga sipil yang terluka saat melawan militer.
Dilansir CNA, para perawat itu bersembunyi dari junta militer sehingga obat-obatan yang dibutuhkan diselundupkan melewati pos pemeriksaan.
Berbekal tas, para nakes ini selalu siap melarikan diri ketika petugas kesehatan mendapati mereka melakukan pembangkangan terhadap pemerintah.
Pemboikotan lembaga pemerintah menyebabkan banyak rumah sakit kehilangan stafnya.
Baca juga: Ngeri! Lebih dari 30 Warga Sipil Dilaporkan Tewas dalam Pembantaian di Myanmar
Baca juga: POPULER Internasional: 7 Kisah Membahagiakan di Dunia | Militer Myanmar Tewaskan 30 Warga Sipil
Selain itu, junta militer juga menghabisi para pekerja kesehatan yang melakukan protes anti-kudeta, demikian diungkap kelompok HAM.
Aye Naing, bukan nama sebenarnya, meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit umum setelah terjadi kudeta pada Juni lalu.
Dia memilih menjadi sukarelawan di negara bagian Kayah di timur Myanmar, lokasi terjadinya bentrok antara militer dan para pejuang anti-kudeta.
"Ketika pertempuran dimulai, kami harus lari dan bersembunyi di hutan," katanya kepada AFP di sebuah klinik di sebuah sekolah yang ditinggalkan karena pertempuran di dekat Kota Demoso.
Myanmar sempat digempur pandemi Covid-19 parah pada Juni-Juli dengan kasus harian memuncak di angka 40.000.
Namun setelah itu, junta mengumumkan infeksi baru Covid-19 turun menjadi 150 per-hari dan varian Omicron belum muncul di negara ini.
Tetapi dengan sistem kesehatan yang berantakan, pengetesan Covid-19 juga jadi terbatas.
Di Kayah, sekitar 85.000 orang mengungsi akibat kekerasan, menurut badan pengungsi PBB, dengan banyak yang memadati kamp-kamp di mana infeksi menyebar dengan mudah.
Sebagian besar pasien Aye Naing adalah keluarga pengungsi serta pejuang dari kelompok Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) setempat.
"Saya diberitahu bahwa tidak banyak dokter dan petugas medis di daerah ini, dan penduduk desa meminta mereka," katanya.