TRIBUNNEWS.COM – Virus Corona Omicron sub-varian BA.2 telah terdeteksi di 22 negara bagian di Amerika SerikatS.
Dilansir dari UPI, basis data virus GISAID menyebutkan, hingga Selasa (25/1/2022) ada 92 kasus Covid-19 yang dilaporkan dari Omicron sub-varian BA.2 di Amerika Serikat.
"Meskipun garis keturunan BA.2 baru-baru ini meningkat secara proporsional di beberapa negara, proporsi virus yang beredar di Amerika Serikat dan secara global masih sangat rendah," kata Kristen Nordlund, juru bicara Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS seperti dilaporkan Washington Post.
"Saat ini, tidak ada data yang cukup untuk menentukan apakah garis keturunan BA.2 lebih menular atau memiliki keunggulan kebugaran dibandingkan garis keturunan BA.1," katanya.
“CDC terus memantau varian yang beredar baik di dalam negeri maupun internasional,” katanya.
Baca juga: Peneliti di Jepang: Omicron Bisa Bertahan di Kulit Sampai 21 Jam dan 8 Hari di Permukaan Plastik
Baca juga: CDC AS: Varian Omicron Sebabkan Lonjakan Rawat Inap Covid-19, Namun Kematian Lebih Rendah
Para ilmuwan di seluruh dunia sedang menyelidiki Omicron sub-varian BA.2.
"Saya berpikir itu tidak akan menyebabkan gangguan dan kekhawatiran, morbiditas dan mortalitas seperti yang dilakukan BA.1," kata Dr Jacob Lemieux, spesialis penyakit menular di Rumah Sakit Umum Massachusetts di Boston.
Tetapi masih banyak yang harus dipelajari tentang sub-varian Omicron Covid-19 ini.
“Kami tidak melihat adanya yang meningkatkan kekhawatiran, tetapi yakinlah bahwa kami sedang mengamatinya dan kami akan memberi tahu Anda jika ada sesuatu yang menarik atau mengkhawatirkan," ujar Komisaris Kesehatan Departemen Publik Dr Allison Arwady.
Setidaknya 40 negara telah melaporkan BA.2, dengan penyebaran cepat sub-varian ini dilaporkan di Denmark dan Inggris.
Baca juga: Update: Total Kasus Omicron di Indonesia Jadi 1.766 Orang
Baca juga: Temuan Sub Varian Omicron BA.2 Menyebar di Beberapa Negara, Ini Kata Dokter Paru
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa BA.2 bukanlah varian yang menjadi perhatian.
Dikatakan, tidak ada bukti saat ini yang menunjukkan bahwa sub-varian Omicron baru lebih buruk terkait kemanjuran vaksin, penularan, atau tingkat keparahan penyakit.
"Sejauh ini, tidak ada cukup bukti untuk menentukan apakah BA.2 menyebabkan penyakit yang lebih parah daripada Omicron BA.1," kata Meera Chand, direktur insiden di Badan Keamanan Kesehatan Inggris, dalam sebuah pernyataan.
Pada Selasa (25/1/2022), CDC AS mengatakan varian Omicron menyebabkan rekor terjadinya jumlah infeksi Covid-19, kunjungan ke ruang gawat darurat (IGD), dan rawat inap di rumah sakit di AS selama tujuh hari awal bulan ini.
Namun CDC juga menyatakan bahwa total pasien yang dirawat di ruang intensif rumah sakit dan kematian akibat virus Omicron ini lebih rendah dari puncak pandemic lainnya, sewaktu varian Delta dominan.
Baca juga: Gejala Omicron Mirip Flu, Ini yang Harus Dilakukan Jika Dinyatakan Positif Covid-19
Baca juga: Pfizer Mulai Uji Klinis Vaksin untuk Omicron, Targetkan Siap pada Maret 2022
Selama tujuh hari hingga Sabtu (15/1/2022), sebut CDC, tercatat rata-rata hampir 800 ribu kasus Covid-19, lebih dari 48 ribu kunjungann ke IGD, dan hampir 22 ribu penerimaan rumah sakit dalam satu hari di seluruh AS.
CDC menyebutkan bahwa, angka-angka ini adalah yang tertinggi untuk periode tujuh hari sejak pandemi dimulai pada Maret 2020.
Namun dikatakan, jumlah rata-rata kematian per hari akibat virus Omicron pada minggu itu tercatat hampir 1.900.
Angka ini lebih rendah dari tingkat yang dilaporkan selama gelombang Delta, yang dimulai musim semi lalu.
Selain itu, sekitar 30 persen dari kapasitas ICU rumah sakit di seluruh AS diisi oleh pasien Covid-19. Ini menunjukkan persentase yang lebih rendah dari kasus oleh varian Delta.
Baca juga: Pemerintah Terapkan Travel Bubble Indonesia-Singapura saat Kasus Omicron Meningkat
Baca juga: Ahli Sebut Gelombang Omicron India Dapat Meningkat dalam Beberapa Minggu
"Munculnya varian Omicron pada Desember 2021 menyebabkan peningkatan substansial dalam kasus Covid-19 di Amerika Serikat," tulis para peneliti CDC.
Namun, terlepas dari tekanan pada sistem perawatan kesehatan, "keparahan penyakit tampaknya lebih rendah dibandingkan dengan periode penularan penyakit yang tinggi sebelumnya," kata mereka. (Tribunnews.com/UPI/Hasanah Samhudi)