TRIBUNNEWS.COM, JENEWA - Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa ini menunjukkan bahwa jarum suntik bekas, alat uji bekas, dan botol vaksin bekas yang digunakan selama pandemi virus corona (Covid-19) telah menumpuk.
Tumpukan 'barang bekas' ini menghasilkan puluhan ribu ton limbah medis dan mengancam kesehatan manusia serta lingkungan.
"Bahan-bahan itu sebagian dapat menular karena Covid-19 dapat bertahan di permukaan, berpotensi membuat petugas kesehatan mengalami luka bakar, luka tertusuk jarum suntik, dan kuman penyebab penyakit," kata laporan WHO.
Masyarakat yang dekat dengan tempat pembuangan sampah yang dikelola secara buruk pun dapat terdampak melalui udara yang terkontaminasi dari pembakaran sampah, kualitas air yang buruk atau hama pembawa penyakit.
Laporan tersebut menyerukan reformasi dan investasi, termasuk melalui pengurangan penggunaan kemasan yang menyebabkan menumpuknya limbah plastik serta penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang terbuat dari bahan yang dapat digunakan kembali atau didaur ulang.
Baca juga: CARA Mudah Akses Sertifikat Vaksin Internasional Standar WHO, Buka Aplikasi PeduliLindungi
Dikutip dari laman Channel News Asia, Selasa (1/2/2022), diperkirakan ada sekitar 87.000 ton APD atau setara dengan berat beberapa ratus paus biru, telah dipesan melalui portal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) hingga November 2021.
Mirisnya, sebagian besar diperkirakan berakhir sebagai limbah.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa sekitar 140 juta alat uji berpotensi menghasilkan 2.600 ton limbah.
Sebagian besar merupakan sampah plastik dan limbah kimia yang cukup untuk mengisi sepertiga kolam renang Olimpiade.
Selain itu, diperkirakan sekitar 8 miliar dosis vaksin yang diberikan secara global telah menghasilkan tambahan 144.000 ton limbah dalam bentuk botol kaca, jarum suntik, jarum serta safety box.
Kendati demikian, laporan WHO tidak menyebutkan contoh spesifik di mana penumpukan paling mengerikan ini terjadi.
Namun laporan itu lebih merujuk pada tantangan seperti pengolahan dan pembuangan limbah resmi yang terbatas di pedesaan India serta sejumlah besar lumpur tinja dari fasilitas karantina di Madagaskar.
"Bahkan sebelum pandemi dimulai, sekitar sepertiga fasilitas kesehatan tidak dilengkapi tempat memadai untuk menangani beban limbah yang ada. Angkanya mencapai 60 persen di negara-negara miskin," pungkas laporan WHO.