TRIBUNNEWS.COM, KYIV - Peperangan antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung hingga saat ini.
Meski berhasil menahan laju pasukan Rusia di beberapa front, Ukraina pun mengalami kerugian yang tidak sedikit, baik kehancuran kota maupun korban jiwa.
Bahkan kabarnya, Ukraina sudah memiliki rencana jika Presiden Volodymyr Zelensky terbunuh karena serangan Rusia.
Adanya rencana tersebut diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken, Minggu (6/3/2022).
Baca juga: Khawatirkan Situasi di Ukraina, China Akan Kirim Bantuan dan Desak Kedua Pihak Menahan Diri
Zelensky diklaim menjadi target utama Rusia.
Selain itu, mantan komedian tersebut dilaporkan sudah tiga kali menjadi sasaran pembunuhan setelah Rusia menyerang ke Ukraina sejak Kamis (24/2/2022).
Zelensky pada pertemuannya dengan pemimpin negara Barat, telah mengungkapkan bahwa ia mungkin akan mati dalam waktu dekat.
Baca juga: Aktor Ukraina Tewas dalam Perang, Unggahan Terakhir Disorot: Kita Dibom dan Kita Tetap Senyum
“Ukraina telah memiliki rencana, yang tak akan saya bicarakan atau perinci untuk memastikan bahwa ada yang kita sebut untuk kelangsungan pemerintahan dengan satu cara atau lainnya,” kata Blinken pada program CBS Face The Nation dikutip dari Politico.
“Saya hanya akan menghentikannya sampai di situ,” tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Blinken mengungkapkan kemungkinan pelarangan impor minyak Rusia, yang diminta Zelensky kepada kongres AS sehari sebelumnya.
Sampai saat ini, Gedung Putih masih enggan melarang impor minyak dari Moskow, meski ada dukungan untuk gagasan tersebut dari Kongres.
Blinken mengatakan ia tengah membahas potensi untuk melarang minyak Rusia, dengan Presiden AS, Joe Biden dan pejabat AS serta Barat lainnya.
Blinken menegaskan itu adalah diskusi yang sangat aktif di antara AS dan sekutunya.
“Kami sedang berbicara dengan mitra dan sekutu Eropa kami untuk melihat secara terkoordinasi prospek pelarangan impor minyak Rusia, sambil memastikan masih ada pasokan minyak yang tepat di pasar dunia,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas Tv
4 Syarat dari Rusia
Terdapat empat syarat yang harus dipenuhi oleh Ukraina apabila ingin Rusia menghentikan serangannya.
Satu di antaranya yakni Ukraina mutlak tak boleh gabung dengan NATO.
Rusia telah mengatakan kepada Ukraina bahwa pihaknya siap untuk menghentikan operasi militer "dalam sekejap" jika Kyiv memenuhi daftar persyaratan.
Dikutip dari Reuters, Juru Bicara Kremlin Rusia, Dmitry Peskov membeberkan empat hal krusial yang menjadi tuntutan Rusia terhadap Ukraina untuk bisa dipenuhi.
Pernyataan itu dikatakan Peskov pada Senin (7/3/2022), di hari ke-12 invasi Rusia.
Ukraina Diminta Hentikan Aksi Militer
Syarat pertama, Rusia meminta agar Ukraina demiliterisasi atau menghentikan aksi militernya.
Seperti diketahui, Rusia telah menyerang Ukraina dengan menggempur kota-kota termasuk Kyiv, Kharkiv dan pelabuhan Mariupol.
Invasi yang diluncurkan mulai 24 Februari 2022 ini memicu berbagai kecaman di seluruh dunia, dan menyebabkan sanksi berat terhadap Moskow.
Baca juga: Perang Ukraina dan Rusia, Presiden AAYG Dorong Negara Asia Afrika Berikan Resolusi
Dalam hal ini Peskov menegaskan, Rusia tidak berusaha untuk mengklaim teritorial di Ukraina dan membantah isu bahwa mereka menuntut agar Kyiv diserahkan.
"Kami benar-benar menyelesaikan demiliterisasi Ukraina. Kami akan menyelesaikannya. Tetapi yang utama adalah Ukraina menghentikan aksi militernya. Mereka harus menghentikan aksi militer mereka dan kemudian tidak ada yang akan menembak," katanya Kremlin.
Menjamin Status Non-Blok Ukraina
Kedua, Rusia meminta Ukraina menjamin status non-bloknya.
Mengenai masalah netralitas, Peskov mengatakan Rusia meminta untuk mengubah konstitusi agar mencerminkan netralitasnya.
"Mereka harus membuat amandemen konstitusi yang menurutnya Ukraina akan menolak setiap tujuan untuk memasuki blok mana pun."
Rusia telah lama menuntut agar Ukraina setuju untuk mengesampingkan bergabung dengan North Atlantic Treaty Organisation (NATO).
Rusia menyatakan syarat Ukraina tak boleh gabung NATO adalah mutlak.
Hal tersebut lantaran, Rusia khawatir Ukraina bisa dijadikan pangkalan NATO dan negara itu memiliki dukungan militer besar untuk merebut Semenanjung Krimea.
Mengakui Krimea Sebagai Wilayah Rusia
Selanjutnya, mengakui Semenanjung Krimea sebagai wilayah Rusia.
"Kami juga telah berbicara tentang bagaimana mereka harus mengakui bahwa Krimea adalah wilayah Rusia dan bahwa mereka perlu mengakui bahwa Donetsk dan Lugansk adalah negara merdeka. Dan hanya itu. Itu akan berhenti sebentar lagi." kata Peskov.
Dikutip Sputniknews Krimea memisahkan diri dari Ukraina dan bergabung kembali dengan Rusia pada Maret 2014 setelah kudeta Maidan di Kiev.
Krimea telah menjadi bagian dari Ukraina sejak 1954.
Baca juga: Hari Ke-13 Invasi Rusia ke Ukraina: Tuduhan Zelenskiy Hingga Pernyataan Menlu China
Pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Khrushchev memberi wilayah ini pada Ukrania yang kemudian menjadi bagian dari Uni Soviet hingga negara ini bubar pada 1991.
Sejak saat itu, Krimea menjadi wilayah semiotonom dari negara Ukraina yang memiliki ikatan politik kuat dengan Ukraina, namun memiliki ikatan budaya yang kuat dengan Rusia.
Krimea memiliki badan legislatif sendiri, Dewan Tertinggi Krimea beranggotan 100 wakil rakyat dan kekuasaan eksekutif dipegang Dewan Menteri yang dipimpin seorang ketua yang berkuasa atas persetujuan Presiden Ukraina.
Mengakui Republik Separatis Donetsk dan Lugansk sebagai negara merdeka
Rusia mengakui dua negara baru itu dengan nama Republik Rakyat Donestk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR).
Kedua wilayah itu sebenarnya telah memisahkan diri dari Ukraina sejak 2014 atau setelah kudeta terhadap pemimpin Ukraina pro-Rusia yang terpilih secara demokratis.
Sejak itu, lebih dari 14.000 orang tewas dalam pertempuran antara tentara Ukraina dan separatis pro-Moskow di sana.
Lebih lanjut, Peskov mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara melalui telepon, Ukraina mengetahui persyaratan tersebut.
Menurutnya, pihak Ukraina juga sudah diberitahu bahwa serangan dan konflik ini bisa dihentikan dalam sekejap.
Pernyataan Peskov datang ketika delegasi Rusia berangkat ke Belarus untuk bertemu dengan negosiator Ukraina untuk putaran ketiga pembicaraan tentang mengakhiri permusuhan.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan mitranya dari Ukraina Dmytro Kuleba juga akan bertemu di sebuah forum di Turki pada hari Kamis.
Ini akan menjadi pertemuan tingkat atas pertama sejak Moskow meluncurkan invasi pada 24 Februari 2022.